Analisis, Nasional

Marak Covid-19 klaster pesantren, salah siapa?

Sanitasi dan fasilitas pesantren tidak memadai dan memungkinkan pandemi Covid-19 menjalar dengan cepat

M Ridlo Susanto  | 04.02.2021 - Update : 04.02.2021
Marak Covid-19 klaster pesantren, salah siapa? Pondok Pesantren Miftahul Huda, Cigaru, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, tampak sepi. Dari sekitar 1.000 santri, hanya 120 santri yang tinggal di pesantren, lainnya diliburkan, setelah wabah Covid-19 melanda pesantren ini pada Januari 2021. (M Ridlo Susanto - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

CILACAP

Kompleks Pondok Pesantren Cigaru terasa begitu sepi. Lorong-lorong panjang dan selasar hanya diisi hembusan angin.

Pintu gerbang utama hanya dibuka separuh. Tampak satu santri senior di pos jaga.

Sebenarnya, sore hari menjelang Ashar adalah waktu para santri belajar, namun kala itu tak tampak bahwa ini adalah kompleks pesantren dengan jumlah santri nyaris 1.000 orang.

Selain itu, pesantren yang berada Desa Cibeunying, Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah itu adalah salah satu pesantren tertua di kawasan Cilacap barat.

Sejak ditutup total atau lockdown akibat Covid-19 pada pertengahan pekan kedua Januari 2021, pesantren ini memang sangat membatasi kegiatan.

Pesantren tak menerima kunjungan dari luar.Sebaliknya, santri juga dilarang keras beraktivitas di luar.

Status lockdown memang telah berakhir, tetapi aktivitas tetap dibatasi. Sebagian besar santri dipulangkan.

Sedikit aktivitas terlihat di pusat Sekolah Tinggi Agama Islam Tsufyan Tsauri (STAIS) Majenang, unit pendidikan tinggi pesantren ini.

Anadolu Agency diterima oleh pengasuh ponpes, sekaligus Ketua Satgas Covid-19 Ponpes Cigaru, Mazin al Hajar di ruang dosen.

Dia bercerita, semula ada dua santri putri di kompleks Al Jadid, salah satu asrama putri dalam pesantren ini, yang kehilangan indra penciuman.

Belakangan, jumlahnya terus bertambah setelah pendataan cepat.

Kemudian diketahui, sejumlah santri lainnya sempat bergejala serupa, namun sembuh.

“Terdeteksi pertama pada 2 Januari, dinyatakan positif Covid-19 pada 6 Januari malam,” ucap penanggung jawab kompleks Al Jadid ini.

Suasana pesantren yang adem ayem berubah mencekam.

Mereka akhirnya mengalami sendiri penyakit yang selama 10 bulan sejak Maret 2020 lalu, diberitakan dengan banyak kengerian.

Horor Covid-19 tak berhenti di situ. Sebab, santri di kompleks lainnya juga mengalami gejala serupa.

Belakangan, dari ratusan santri yang diduga suspek Covid-19, sebanyak 108 di antaranya, positif Covid-19.

Sejak santri dinyatakan positif Covid-19, pihak pesantren dan Gugus Tugas Covid-19 Cilacap menutup total pesantren.

Santri yang positif ditempatkan di lokasi karantina khusus, sedangkan santri yang negatif dan tak bergejala, tetap dalam pesantren, namun dengan pengawasan ketat.

Beruntung, sebagian besar santri yang terpapar Covid-19 nyaris tanpa gejala.

Mereka hanya kehilangan indra penciuman, sebagian lain demam ringan.

Namun, tentu saja ada santri dan asatidz (ustadz-ustadzah) yang mengalami gejala sedang hingga berat.

Anehnya, meski sudah berinteraksi tiap hari pada masa lockdown, Gugus Tugas Covid-19 Cilacap tak menunjukkan rumah sakit rujukan.

“Ada dua yang bergejala agak berat. Pertama saya bawa ke RS AMANU, ditolak, ke RS Kania, ditolak, kemudian ditunjukkan ke RS Duta Mulya, penuh, baru kemudian ke RSUD Majenang. Memang tidak ada yang memberi tahu hanya ada dua rumah sakit (RS rujukan Covid-19),” ucapnya.

Masalah berlanjut ketika pesantren lockdown.

Kebutuhan makanan santri menjadi tanggung jawab pengelola pengasuh. Sementara, Satgas Covid-19 Cilacap hanya memberikan dua kwintal beras.

Ditambah dengan bantuan sembako dari Bagian Kesra Pemerintah Kabupaten Cilacap. Komunitas santri dan ormas menggalang bantuan untuk mencukupi kebutuhan selama masa lokcdown.

“Dua kuintal itu kalau dihitung-hitung, hanya cukup untuk sehari. Itu saja kurang. Karena tanggung jawab kita bukan hanya untuk yang dikarantina, tetapi juga semua santri yang masih tinggal di pesantren,” kata Mazin.

Secara resmi, penutupan ponpes hanya berlangsung 11 hari, tanpa catatan kematian, meski masih ada sejumlah asatidz yang mengalami gejala berat hingga akhir Januari.

Berakhirnya pandemi di pesantren ditandai dengan penutupan dapur umum yang menyuplai makanan para santri.

Namun, hingga saat ini pesantren masih menerapkan pembatasan ketat, untuk mengantisipasi berulangnya pandemi.

Persoalan sanitasi

Ponpes Cigaru bukan satu-satunya pesantren di Cilacap yang menjadi klaster penyebaran Covid-19.

Sebelumnya, Ponpes yang berada di kecamatan yang sama, El Bayan, juga terpapar Covid-19.

Jumlahnya lebih spektakuler, yakni 497 kasus positif dari 1.070 orang yang menjalani tes usap (swab tests).

Durasi perang melawan Covid-19 di pesantren ini lebih panjang.

Terdeteksi pertama pada akhir September, pandemi Covid-19 di El Bayan baru dinyatakan berakhir pada November.

Ketua Yayasan El Bayan Majenang, Fathul Amin Aziz mengaku tak bisa menduga-duga muasal munculnya Covid-19 di pesantren ini.

Sebab, sejak awal pandemi Covid-19, meski protokol Covid-19 sudah dilaksanakan secara ketat, harus diakui ada beberapa hal yang tak bisa dikontrol.

Kemungkinannya banyak. Mulai dari tamu, acara di luar pesantren, santri mudik, bisa menjadi sumber awal penularan. Ia tak hendak berspekulasi soal penularan.

Kiai yang juga dosen di IAIN Purwokerto itu lebih menyoroti dampak Covid-19 di pesantren.

Sebab, saat Covid-19 sudah mewabah di pesantren, hampir dipastikan angka paparannya akan besar.

Hal itu tak lepas dari tata kelola pesantren yang masih jauh dari kata sehat.

Di asrama misalnya, satu kamar berukuran kecil bisa diisi belasan santri. Bahkan, ada pula kamar yang diisi oleh lebih dari 20 santri.

Aziz bilang, munculnya klaster pesantren dengan jumlah penderita yang tinggi menunjukkan perlunya perbaikan tata kelola pesantren dan penambahan fasilitas.

Salah satu yang penting yaitu kesehatan dan sanitasi.

Bagi dia, Covid-19 di pesantren hanya puncak gunung es dari buruknya kualitas kesehatan.

Para pengasuh pesantren bukannya tak menyadari persoalan ini. Namun, lagi-lagi kemampuan untuk membangun infrastruktur menjadi hambatan.

Dia menyoroti pemerintah yang menurutnya kerap mengabaikan pesantren sebagai institusi pendidikan, yang bahkan lebih tua dibanding pendidikan formal.

Ini berbeda dari pendidikan formal yang anggarannya besar dan ditopang beragam program.

Sementara, pesantren seolah sendirian mendidik anak-anak bangsa.

Tak adil rasanya membandingkan sistem pesantren dengan pendidikan formal, meski secara kurikulum, keduanya amat mirip, kata dia.

Bedanya, ijazah sekolah formal diakui, sedangkan pesantren sebaliknya.

“Kami menyadari itu. Tetapi, kemampuan kami untuk menciptakan lingkungan yang sehat juga terbatas. Saya kira, pemerintah bisa melihat itu,” ujar dia.

Persoalan mendasar pesantren adalah bagaimana menyediakan hunian yang layak untuk santri.

Kebersihan dan sanitasi menjadi hal yang paling sulit diterapkan.

Tak aneh, jika berbagai penyakit muncul di sebagian pesantren.

Pada masa pandemi Covid-19 pesantren juga sulit menerapkan protokol kesehatan, terutama soal jaga jarak.

Sebab, dengan lingkungan yang terbatas, sulit bagi santri untuk menjaga jarak dari rekan lainnya.

“Kalau Covid-19 sudah masuk ke pesantren. Penyakit lain juga sama saja, akan sulit dikendalikan,” ucap dia.

Menurut dia, di sini lah peran pemerintah merespons pandemi dengan bijak.

Pemerintah perlu menggali penyebab munculnya berbagai penyakit di pesantren sekaligus mencari solusinya.

Dia juga mendorong agar pemerintah membantu pesantren dengan bantuan-bantuan tepat guna.

Kiai yang mantan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Purwokerto ini membandingkan pesantren dengan rumah tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

Di rutan dan lapas, tahanan dan napi disediakan asrama, MCK, hingga makanan dan buah-buahan difasilitasi oleh negara.

Ini justru berkebalikan dengan pesantren, yang merupakan pusat pembangunan ilmu dan ketakwaan.

Berada di bawah Kementerian Agama, anggaran pesantren sangat minim.

Bahkan, selama ia mengelola Pondok Pesantren El Bayan, lebih dari 10 tahun, tak ada satu pun infrastruktur bantuan pemerintah.

“Membandingkan memang tidak baik akan tetapi jika buktinya empiris apa masih perlu diperdebatkan. Barangkali butuh revolusi mental agar DPR juga tidak usah protes tentang fasilitas yang ada di penjara karena akan menyakitkan ‘orang lain’,” kata Aziz.

Orang lain yang dimaksud Aziz, misalnya pesantren, panti asuhan, panti jompo, dan tempat ‘orang-orang baik’ yang mestinya difasilitasi negara.

Kondisi ini memaksa banyak pesantren harus mengandalkan bantuan masyarakat.

Pengelola pesantren juga berupaya mengajukan proposal demi mendapatkan bantuan negara.

Namun nyatanya, dalam beberapa kasus, tanpa jaringan di atas, proposal itu tak digubris.

Pondok kadang dikenal dengan menunggu belas kasihan masyarakat.

Namun bukan isapan jempol bahwa proposal tidak cukup tanpa jaringan. Pondok miskin jaringan jadi berkali-kali menyusun proposal tapi tanpa hasil, ujar dia.

Pesantren perlu terapkan closed setting

Ahli epidemiologi Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman (Unsed), Yudi Wibowo mensinyalir kondisi pondok pesantren yang overcowded atau penuh sesak memicu risiko penularan massal Covid-19.

Akibatnya, jumlah pasien klaster pesantren bisanya sangat banyak, dan bahkan spektakuler.

Secara umum sebagian besar asrama pesantren di Indonesia belum layak untuk menciptakan lingkungan sehat.

Pasalnya, tiap kamar dengan ukuran terbatas biasanya diisi banyak santri, dengan jumlah sepuluh lebih.

Akibatnya, saat ada satu orang terpapar penyakit menular, maka penularannya akan sangat cepat.

Terlebih, Covid-19 yang media penularannya melalui droplet dan barang yang disentuh.

Kondisi ini diperburuk dengan fasilitas MCK atau sanitasi yang sangat terbatas.

Santri kerap bergantian menggunakan alat mandi, dan lain sebagainya.

“Ponpes itu, apalagi yang ada asramanya, menginap itu kan seringkali kapasitasnya berlebihan, overcrowded.

“Satu kamar bisa ditempati lima atau bahkan 10 lebih santri, dalam satu ruangan. Kondisi ini diperburuk dengan ketersediaan MCK yang terbatas jumlahnya,” kata Yudhi Prabowo.

Yudhi juga Ketua Tim Ahli Epidemiologi Satgas Covid-19 Banyumas merekomendasikan agar pesantren menerapkan closed setting atau membatasi dengan sangat ketat hubungan asrama dengan dunia luar.

Ini harus dilakukan meski vaksin Covid-19 sudah mulai didistribusikan.

Pasalnya, jika ada satu orang terpapar Covid-19 maka penularannya akan sangat cepat.

Yudhi juga mendorong agar pemerintah memperhatikan infrastruktur pesantren agar kualitas kesehatan di pesantren meningkat.

Sebab, pesantren juga merupakan lembaga pendidikan penting di Indonesia.

Karenanya, pemerintah harus mulai mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk pembangunan infrastruktur pesantren.

Caranya yakni dengan menerbitkan regulasi di masing-masing daerah agar pembangunan pesantren bisa ditopang oleh pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

Dia juga mendorong agar forum pondok pesantren di daerah mengadvokasi persoalan ini.

Pasalnya, munculnya klaster Covid-19 di pesantren merupakan puncak gunung es dari berbagai penyakit menular yang lebih dulu memapar pesantren.

Contohnya scabies (gudik) yang sudah menjadi penyakit yang bahkan sudah diidentikkan dengan pesantren.

“Bagaimana melakukan advokasi, pendekatan ke Kementerian Agama, untuk meyakinkan bahwa itu harus diperhatikan oleh pemerintah. Jadi mungkin ada semacam bantuan, untuk pembangunan infrastruktur. Lalu membuat regulasi untuk mengatur kapasitas,” ucap dia.

Selama ini dia melihat bantuan pemerintah untuk pesantren masih minim.

Selain infrastruktur, kesejahteraan pendidik hingga santri pun mestinya dilindungi dengan kebijakan khusus untuk pesantren.

Sebab, sebagai sesama penuntut ilmu, sebenarnya hak santri dan siswa sekolah formal adalah sama.

Kepala Seksi Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Kantor Kementerian Agama Kabupaten Cilacap, Banu Tolib Majid mengakui kebanyakan pondok pesantren belum menerapkan tata kelola kesehatan asrama dan sanitasi yang memadai.

Pangkal soalnya adalah keterbatasan kemampuan pengelola pesantren.

Sementara, Kementerian Agama sebagai lembaga kedinasan yang membawahi pesantren tak memiliki anggaran cukup untuk pembangunan pesantren.

Kondisi ini disebabkan belum ada regulasi yang mengatur bantuan langsung pemerintah untuk pesantren.

“Kami hanya melaksanakan program yang sudah ditentukan oleh pusat. Memang, perlu dorongan dari sisi regulasi,” kata Banu.

Dia mencontohkan, untuk 2021 ini, Kemenag dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) hanya memprogram 12 pembangunan fasilitas sanitasi untuk meningkatkan kualitas kesehatan di pondok pesantren untuk penanggulangan Covid-19.

Jumlah ini masih jauh dari kebutuhan. Sebab, jumlah pesantren terdaftar di Cilacap mencapai 254 ponpes, dengan jumlah santri antara puluhan hingga ribuan orang.

Menurut dia, tata kelola kesehatan pesantren, termasuk ketersediaan asrama dan sanitasi menyebabkan klaster pesantren terus bermunculan.

Namun pada 2021 ini tak ada program bantuan pembangunan asrama, sebagaimana yang diusulkan.

“Tahun 2021 akan ada program dari PUPR untuk pengadaan sanitasi oleh pondok-pondok pesantren, kelihatannya 12 ponpes. Kalau program pembangunan asrama, tidak ada,” ucap dia. 

Banu menambahkan, untuk mencegah penularan Covid-19, Kemenag menyarankan agar pesantren menerapkan pembelajaran daring.

Akan tetapi, jika santri sudah berada di pesantren, maka pengasuh pesantren diminta melakukan pembatasan ketat interaksi dengan luar dengan tidak menggelar acara yang melibatkan orang banyak.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap, Pramesti Griana Dewi mengatakan, di Cilacap ada tiga pesantren yang terkonfirmasi menjadi klaster Covid-19. Jumlah kasus mencapai 700 lebih.

Contohnya, Ponpes El Bayan mencapai 497 kasus, Ponpes Miftahul Huda, Cigaru, 108 kasus, dan Ponpes di Cilacap Tengah, mencapai 100 lebih kasus.

Belum lagi klaster pesantren yang diduga masih bermunculan, namun enggan terbuka.

Sebelum pandemi Covid-19, Dinkes telah memerintahkan tiap puskesmas untuk mendampingi pesantren dari sisi kesehatan. Sosialisasi kesehatan intensif digelar.

“Setelah Covid-19, ini diintesifkan lagi,” imbuh Pramesti.

Pramesti juga berpendapat asrama dan sanitasi di pesantren belum cukup memadai.

Karenanya, salah satu rekomendasi Dinkes saat berkoordinasi dengan Satgas Covid-19 dan lintas instansi, adalah perbaikan infrastruktur pesantren.

“Sebenarnya, yang santri itu tidak bergejala ya. Itu rata-rata OTG. Tapi ini berbahaya untuk ustadznya, kiainya, yang sudah tua atau komorbid,” ujar dia.

Dia juga mengatakan, program vaksinasi Covid-19 juga menyasar pesantren, setidaknya pengasuh.

Ini sekaligus upaya penanggulangan Covid-19 klaster pesantren.

Kiai menjadi prioritas pemberian vaksin, sekaligus untuk meyakinkan publik, bahwa vaksin ini aman dan halal.

Sementara, pada Rabu kasus Covid-19 di Cilacap 6.927 orang.

Dari jumlah itu, sebanyak 5.528 orang sembuh dan 183 orang meninggal dunia.

Terkini, angka kasus aktif Cilacap 1.216 orang.





Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın