Ekonomi, Analisis, Nasional

Gonjang-ganjing harga kedelai, masalah lama yang selalu terulang

Apabila ada gejolak harga pada kedelai di pasar global, akan berpengaruh pada industri tahu tempe di dalam negeri

Iqbal Musyaffa, Muhammad Nazarudin Latief  | 05.01.2021 - Update : 09.01.2021
Gonjang-ganjing harga kedelai, masalah lama yang selalu terulang Ilustrasi: Tempe tahu. (Foto file - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

JAKARTA

Tahu dan tempe, salah satu makanan favorit masyarakat Indonesia, sempat hilang dari pasaran beberapa hari lalu.

Penyebabnya para perajin makanan dengan bahan baku kedelai itu mogok berproduksi gara-gara harga yang tak terkendali.

Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) juga mengatakan anggotanya melakukan aksi mogok produksi selama tiga hari, mulai 1-3 Januari.

Para perajin ini juga meminta agar pemerintah memperbaiki tata niaga kedelai, agar harganya stabil sehingga nyaman bagi para pelaku usaha.

Mereka juga meminta pemerintah agar merealisasikan program swasembada kedelai yang sudah dicanangkan sejak 2006 untuk mengurangi ketergantungan kedelai impor.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa mengatakan masalah harga kedelai naik turun ini bukan hal baru dan terus berulang setiap tahun.

Sejauh ini 90 persen kebutuhan kedelai di Indonesia berasal dari impor.

Maka jika ada gejolak harga pada kedelai di pasar global, akan berpengaruh pada industri tahu tempe di dalam negeri.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor kedelai Indonesia sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton dengan nilai sekitar Rp7,52 triliun.

Jika dilihat dari tahun-tahun sebelumnya, total impor kedelai mencapai 2,67 juta ton pada 2017, kemudian 2,58 juta ton pada 2018 dan 2,67 juta ton pada 2019.

Sementara kebutuhan konsumsi kedelai di dalam negeri sekitar 8 juta ton.

Sebagai catatan, sebanyak 1,14 juta ton diantaranya berasal dari Amerika Serikat.

Data ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia setelah China.

“Kita pernah swasembada kedelai pada awal 1990, namun kemudian kedelai hancur dan dikorbankan saat pemerintah membuka keran impor awal 2000-an,” jelas Andreas kepada Anadolu Agency, Selasa.

Data Gakoptindo, harga kedelai impor di tingkat pengrajin mengalami penyesuaian dari Rp9.000 per kilogram pada November 2020 lalu menjadi Rp9.300-Rp9.500 per kilogram pada Desember.

“Sekarang kedelai sulit untuk diselamatkan dan kita akan terus bergantung pada impor yang semakin tinggi,” lanjut Andreas.

Pemerintah sebenarnya sempat menargetkan swasembada kedelai pada 2019, bahkan dimajukan menjadi 2018, namun tak kunjung menjadi nyata.

“Perlu ada perombakan total terhadap kebijakan sektor pangan kita, karena sulit untuk swasembada saat 90 persen kebutuhan berasal dari impor,” lanjut Andreas.

Disparitas harga kedelai lokal dan impor

Persoalan utama yang selama ini belum tersentuh adalah masalah disparitas harga kedelai lokal dan impor serta tidak adanya perlindungan harga bagi petani kedelai, ujar Andreas.

Andreas mengatakan biaya produksi kedelai lokal saat ini sekitar Rp10 ribu hingga Rp12 ribu per kilogram, sementara kedelai impor harganya saat ini sekitar Rp9 ribu per kilogram.

Pada 2002, Andreas pernah melakukan kajian. Saat itu harga kedelai impor Rp1.500 per kilogram ditambah fasilitas dari pemerintah AS kepada para importir kedelai.

Harga kedelai lokal saat itu sekitar Rp2.500 per kilogram sehingga membuat kedelai impor menjadi lebih kompetitif.

Sementara itu, harga kacang hijau dengan produktivitas yang sama dengan kedelai saat ini stabil pada Rp14 ribu hingga Rp18 ribu per kilogram.

Hal ini membuat para petani tidak memilih menanam kedelai sebagai komoditas utama dan sulit mencapai swasembada.

“Jangan harap kita swasembada kedelai kalau permasalahan disparitas harga ini tidak diselesaikan,” imbuh dia.

Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta juga mendeteksi persoalan yang sama.

Menurut dia kedelai nasional menghadapi berbagai persoalan yang membuatnya tidak bisa terserap oleh pasar secara maksimal, seperti kualitas dan harga yang tidak bisa bersaing dengan kedelai impor.

Kedelai menurut dia masih diposisikan sebagai tanaman selingan, produk utamanya masih saja padi, jagung, tebu, tembakau atau bawang merah.

Untuk mengatasi ini, pemerintah menurut Andreas bisa menerapkan instrumen perlindungan produk ini dengan menerapkan tarif impor yang lebih tinggi.

Saat ini rata-rata tarif impor pangan hanya sebesar 6,2 persen, padahal menurut dia pemerintah bisa menyontoh India yang menerapkan tarif impor kelapa sawit hingga 45 persen untuk melindungi pasar dalam negeri.

Pemerintah juga perlu menerapkan kebijakan perlindungan harga kedelai seperti yang dilakukan Korea Selatan, yaitu membayar selisih harga ke petani kedelai apabila harga anjlok.

“Daripada menghamburkan uang untuk program pemberian bibit kedelai yang kualitasnya tidak bagus dan sering telat penyalurannya, lebih baik beri perlindungan harga kepada petani kedelai,” ungkap Andreas.

Andreas mengatakan permasalahan lain yang dihadapi komoditas kedelai di Indonesia adalah kurangnya penghargaan masyarakat selaku konsumen pada petani kedelai, sehingga selalu menghendaki harga murah.

Contohnya saat ini, dengan harga sekitar Rp9.300 per kilogram sebenarnya masih relatif murah dibandingkan harga beras.

Padahal pada masa swasembada kedelai era orde baru, harga kedelai ditetapkan 1,5 kali lipat dari harga beras.

Kata Andreas, harga kedelai sebagai bahan baku produksi lauk pauk wajar jika lebih tinggi dibandingkan dengan komponen pangan utama.

Harga tempe naik, ukuran menyusut

Sementara itu, produsen tahu dan tempe terpaksa harus menyiasati produksinya dengan menaikkan harga dan mengurangi ukuran.

Ketua Sahabat Perajin Tempe Pekalongan (SPTP) Mualimin mengatakan kondisi saat ini sangat memberatkan mereka dan sulit untuk meraih keuntungan.

“Kita sudah mulai produksi lagi karena kalau tidak produksi, kita tidak kerja,” ungkap dia.

Mualimin mengatakan terpaksa menaikkan harga jual tempe dari Rp5 ribu menjadi Rp6 ribu dengan ukuran yang lebih kecil dari sebelumnya.

Dia mengatakan harga jual tidak bisa naik lebih tinggi lagi karena akan membuat konsumen enggan membeli.

“Kita selama ini pakai kedelai impor karena kedelai lokal hasilnya kurang bagus untuk tempe dan harganya juga lebih mahal,” kata Mualimin.

Tak mudah naikkan produksi kedelai lokal

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan harga kedelai saat ini adalah dampak dari kontraksi global akibat pandemi Covid-19 yang memengaruhi harga kedelai dari AS.

Menteri Syahrul mengatakan masalah ini juga dialami oleh beberapa negara lain seperti Argentina.

“Kami sudah bertemu jajaran Kementerian Pertanian melibatkan integrator dan juga unit kerja lain dan pemerintah daerah untuk mempersiapkan percepatan kedelai kita,” ujar dia.

Menteri Syahrul mengatakan membutuhkan minimal sekitar 100 hari untuk menanam kedelai yang akan dipersiapkan secara bertahap dalam dua masa tanam.

“Ketersediaan kedelai paling penting, bukan cuma masalah harga,” imbuh dia.

Menteri Syahrul mengatakan produksi kedelai lokal harus bisa menjadi kekuatan sehingga masalah harga kedelai impor saat ini menjadi pelajaran untuk lebih mengandalkan pada kekuatan lokal sebagai jawaban dari kebutuhan.

Akan tetapi, dia tidak bisa berjanji mampu mendorong mendorong produksi kedelai lokal secara maksimal karena prosesnya tidak mudah.

“Tapi saya akan sikapi di lapangan dan mudah-mudahan ini (kedelai lokal) bisa menjadi jawaban,” kata Menteri Syahrul.

Sedangkan menurut Fellipa ada beberapa hal yang memengaruhi rendahnya produktivitas kedelai nasional.

Faktor pertama adalah iklim, karena pada dasarnya kedelai adalah tanaman sub-tropis, sehingga pertumbuhan di daerah tropis seperti Indonesia menjadi tidak maksimal.

Selain itu kedelai adalah tanaman yang membutuhkan kelembaban tanah cukup dan suhu relatif tinggi untuk pertumbuhan optimal.

Sementara itu di Indonesia, curah hujan yang tinggi pada musim hujan sering berakibat tanah menjadi jenuh air.

Selain itu drainase yang buruk juga menyebabkan tanah juga menjadi kurang ideal untuk pertumbuhan kedelai.

Lahan yang cocok untuk ditanami kacang kedelai harus memiliki kadar pH yang netral dengan kedalaman minimal 20 sentimeter yang tidak tersedia di semua wilayah Indonesia.

“Usaha produksi kedelai di Indonesia dilakukan pada musim tanam yang tidak selalu ideal untuk pertumbuhan tanaman, karena harus menyesuaikan dengan pola dan rotasi tanam,” ujar dia.

“Permasalahan lahan yang terbatas juga perlu diperhatikan,” ujar dia.

Menurut Fellipa, peningkatan produktivitas bukanlah hal mudah, oleh karena diperlukan pembinaan dan pendampingan bagi petani kedelai, serta investasi.

Pembinaan dapat dilakukan, antara lain dengan penggunaan benih, pupuk dan sarana produksi lain yang tepat.

“Pembinaan juga dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak swasta” jelas Felippa.

Selain itu pemerintah juga harus memikirkan lahan yang hanya diperuntukkan untuk budidaya kedelai. 



Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın