Ekonomi, Budaya, Analisis

Fintech, teknologi yang mengubah bisnis pengusaha kecil

Namun para pelaku fintech masih memberikan bunga yang tinggi pada para peminjamnya

Muhammad Nazarudin Latief  | 06.11.2019 - Update : 08.11.2019
Fintech, teknologi yang mengubah bisnis pengusaha kecil Marni di depan warungnya di Kampung Melayu Barat, Teluk Naga, Tangerang. (Muhammad Latief - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

TANGERANG (AA) – Marni, 52, akhirnya memutuskan untuk mengambil pinjaman Rp5 juta di Amartha, sebuah platform peer to peer (P2P) landing.

Dia butuh uang sekitar Rp2 juta untuk biaya masuk sekolah anaknya pada salah satu SMA swasta di Tangerang.

Marni sebenarnya bisa saja memakai uang yang biasa dia pergunakan untuk berbelanja bahan baku dagangannya, tapi ada risikonya, usaha yang selama ini menghidupi keluarga bisa berantakan.

“Kalau uangnya dipakai bayar sekolah, saya tidak bisa belanja. Jadi tidak bisa jualan,” ujar Marni, di Kampung Melayu Barat, Teluk Naga, Tangerang, akhir Oktober lalu.

Marni akhirnya memilih Amartha, meski sebelumnya dia pernah mendapatkan pinjaman dari salah satu bank. Meminjam di bank, menurutnya menghabiskan banyak energi, selain itu pengajuan pinjamannya juga bisa saja tidak lolos.

“Prosesnya panjang, jadi tidak lagi pinjam ke saja. Ada jaminan biasanya,” ujar Marni.

Usaha Marni berada di pinggir jalan yang cukup ramai. Dia menjajakan nasi, lauk pauk dan sayur mayur, ada juga gado-gado. Di sore hari dia menambah menu nasi uduk.

Di depan warungnya ada pos ronda yang biasa digunakan orang-orang berkumpul.

Penampilan warteg milik Marni sangat sederhana, bagian depan hanya tembok setinggi satu meter sementara atasnya ditutup dengan papan kayu. Temboknya sudah mengelupas. Lantai hanya plester, permukaannya sudah mengelupas di sana-sini.

Di bagian depan ada etalase dagangannya berupa kotak kaca sepanjang sekitar 1,5 meter lebar 50 sentimeter. Di sini tempat dia menjajakan berbagai masakannya. Para pembeli duduk di kursi plastik, yang sebagian sudah rusak. Tidak ada meja makan, hanya kayu selebar 40 sentimeter di depan dagangannya.

Para pembeli duduk di kursi plastik, yang sebagian sudah rusak. Tidak ada meja makan, hanya kayu selebar 40 sentimeter di depan dagangannya yang digunakan pengunjung warung menyantap hidangannya.

Di bagian belakang warung, ada dapur. Temboknya berwarna hitam legam akibat terkena asap masakan.

Setelah pinjaman ini selesai dicicil, Marni ingin mengambil pinjaman lagi untuk memperbaiki warungnya. Maksimal pinjamannya Rp7 juta.

Dia ingin memperbaiki warung, terutama tembok dan membeli kursi-kursi yang lebih layak untuk para pelanggan.

“Tapi warungnya jangan terlalu bagus. Nanti pelanggan malah takut ke sini, dikira mahal,” ujar dia.

Marni mengakui pinjaman online ini cukup membantu usahanya. Di saat simpanannya digunakan untuk membayar biaya sekolah anaknya, dia tetap bisa berjualan dengan modal dari Amartha.

Bahkan, dia bisa memperbesar jumlah uang belanjaannya. Bila biasanya dia membeli 10 liter beras setiap hari, kini bisa 20 liter. Total setiap hari dia membelanjakan uang modal sekitar Rp1,3 juta. Dari situ, dia bisa memperoleh keuntungan sekitar Rp500 ribu.

Meminjam uang dari fintech online memang lebih gampang dan tak membutuhkan jaminan tapi bukan berarti Marni tak mempunyai keluhan.

Menurutnya, satu-satunya hal yang cukup memberatkan adalah besaran bunga pinjaman. Untuk pinjaman sebesar Rp5 juta, dia harus membayar cicilan sebesar Rp130 ribu setiap Kamis selama 50 minggu.

Artinya dia harus membayar bunga sebesar 30 persen selama 50 minggu atau 2,4 persen tiap bulan. Bandingkan dengan bunga KUR BRI yang rata-rata hanya 7 persen tiap tahun atau 0,5 persen per bulan.

“Amartha ini bunganya gede juga,” ujar dia.

Hazaroh, pemilik usaha pembuatan kusen dari kayu bekas di Teluk Naga juga mendapatkan manfaat permodalan dari platform fintech ini. Dia meminjam uang untuk modal usahanya. “Ini ada banyak borongan kayu, banyak proyek perumahan. Kalau mau berkembang saya harus bisa menyediakan kebutuhan mereka,” ujar dia.

Dia kini bisa melayani satu paket kusen untuk rumah ukuran kecil seharga Rp10 juta, terdiri dari dua pintu dan sisanya jendela.

Hazaroh bersama suaminya juga menjual satu set meja makan, terdiri empat kursi dan satu meja yang dia jual dengan harga Rp800 ribu. Layanan lain, dia menjual limbahnya sebagai kayu bakar.

Banyak yang berubah dalam bisnisnya sejak dia mengenal platform P2P lending ini. Minimal ada pengetahuan bisnis baru yang dia peroleh dari para pendamping Amartha. Kini, dia harus disiplin memisahkan uang yang bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, uang modal dan uang untuk membayar cicilan tiap minggu.

Fintech jadi peluang bagi UMKM

Amartha bukan satu-satunya fintech P2P lending di Indonesia. Pada lamannya, Coinwork –juga platform fintech P2P-- menyatakan sudah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp1,1 triliun kepada 3.281 orang peminjam individual dan 292 peminjam institusi.

Akseleran juga sudah menyalurkan dana sebesar Rp792 miliar pada sekitar 2.000 peminjam.

Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga 30 September 2019 ada 127 fintech P2P lending yang terdaftar. Dari jumlah yang terdaftar tersebut sudah ada 13 fintech yang berizin.

Hingga Agustus 2019, mereka telah menyalurkan dana sebesar Rp54,72 triliun. September penyaluran pinjaman bertambah hingga Rp60,4 triliun. Dibanding periode yang sama tahun lalu, angka pertumbuhannya mencapai 166,5 persen.

Untuk Agustus, Jumlah para lender (pemberi pinjaman) sudah mencapai 530.385 akun sedangkan para borrower mencapai 12,83 juta akun.

Sedangkan September 2019, akumulasi lender mencapai 558.766 akun. Tumbuh 169,28 persen dibandingkan posisi Desember 2019 sebanyak 207.507 rekening.

Sedangkan jumlah rekening peminjam (borrower) tercatat sebanyak 14,35 juta rekening, naik 229,4 persen dibandingkan Desember 2018 sebanyak 4,35 juta rekening.

Melawati, manajer kredit Amartha untuk area Teluk Naga, mengungkapkan di wilayah kerjanya ada 1.873 mitra –sebutan untuk para peminjam—dengan jumlah kredit Rp3,5 miliar.

Sedangkan di Kabupaten Tangerang sendiri ada 6.500 mitra dengan total penyaluran Rp12-13 miliar. Rata-rata pinjaman yang diberikan sekitar Rp5 juta tiap orang dan digunakan untuk usaha warung sembako, warung makan, nasi uduk dan usaha pertukangan.

Semua peminjam adalah perempuan. Biasanya mereka sudah mempunyai usaha dan membutuhkan modal untuk mengembangkan bisnisnya. Namun ada juga para mitra yang sebelumnya tidak mempunyai usaha, kemudian mengajukan pinjaman dan kini sudah memulai usahanya.

“Ada yang tadinya hanya mengantar anak sekolah, kini sudah punya warung dan punya penghasilan Rp150 ribu per hari,” ujar dia.

“Ada juga ibu-ibu rumah tangga yang pinjam modal untuk buka usaha toko online. Dia cicilannya lancar, artinya usahanya berjalan.”

Masing-masing mitra mendapat tingkat bunga yang berbeda antara 20-30 persen tergantung penilaian dari petugas lapangan Amartha.

Head of Public Relations “Modalku” Ariani Hadioetomo mengatakan karakteristik pinjaman tanpa agunan biasanya mengenakan bunga tinggi seperti Kredit Tanpa Agunan (KTA) di perbankan.

“Tapi “modalku” bukan seperti KTA di bank, karena peruntukannya sebagai pinjaman modal usaha,” ujar dia.

Meski demikian, fintech tetap menjadi salah satu alternatif pembiayaan untuk meluaskan jangkauan kredit bagi UMKM untuk pengembangan usaha.

“Dulu UMKM yang tidak memiliki tidak punya pilihan selain rentenir. Tapi sekarang P2P lending membuat mereka mengakses kredit dengan bunga yang lebih terjangkau,” ujar dia.

Kemudahan akses kredit juga diberikan oleh Amartha. Mereka hanya memberlakukan syarat kehadiran dalam pertemuan kelompok peminjam. Bahkan, jika calon mitra tidak memiliki akses internet, petugas lapangan akan membantunya.

Data dari pemerintah, total UMKM di Indonesia sekitar 63 juta unit usaha. Dari jumlah tersebut, baru sekitar 30 persen yang mendapatkan akses pembiayaan kredit baik dari bank maupun non bank.

Sedangkan 70 persen UMKM atau sekitar 44 juta di antaranya belum mendapatkan akses pembiayaan dari bank maupun lembaga non-bank.

Jika rata-rata modal kerja tiap UMKM sekitar 25 juta makan dibutuhkan dana sekitar Rp1.000 triliun agar semua dilayani kredit.

Otoritas Jasa Keuangan menyebut industri keuangan berbasis digital atau fintech bisa menembus 70 persen UMKM yang tidak bisa mendapatkan akses kredit karena tidak bankable.

Menurut OJK, karakteristik P2P lending dengan administrasi yang mudah serta cepat cocok dengan UMKM dengan skala usaha kecil.

Mudah diperoleh tapi punya risiko

Nailul Huda, peneliti Institute Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan fintech P2P lending ini bisa menjadi solusi bagi UMKM yang unbankable karena menyasar kredit sangat kecil yang bahkan lebih kecil dari skema Kredit Usaha Rakyat (KUR). Administrasinya juga sangat sederhana.

“Pelaku usaha kelas mikro tidak memerlukan dana sebesar KUR, namun perbankan menginginkan mereka meminjam dengan jumlah yang besar sehingga tetap bisa menghasilkan keuntungan meski dengan bunga rendah. Ini tidak cocok untuk UMKM,” ujar dia.

Jika perhitungannya tidak tepat, Huda mengatakan bunga pinjaman online ini bisa memberatkan.

Pemerintah diharapkan bisa memberikan edukasi dan pelatihan kewirausahaan agar masyarakat memanfaatkan fintech lending dengan tepat.

Publik juga perlu diarahkan meminjam dari fintech yang legal untuk mengurangi risiko penyalahgunaan data ataupun pengenaan bunga pinjaman yang terlalu tinggi.

"Kegiatan produktif perlu diberikan insentif dan kemudahan. Perlu juga perlindungan sehingga ada ruang UMKM untuk tumbuh, jadi kemudahan fintech bisa dimanfaatkan.”

OJK mengakui telah menyiapkan sejumlah strategi agar industri ini bisa terus meningkatkan inklusi keuangan terutama bagi pelaku UMKM. Salah satu strateginya adalah mendorong fintech meningkatkan kapasitas pendanaan produktif dan menciptakan kemudahan pendaftaran.

Kepala Eksekutif Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) OJK Riswinandi mengatakan pihaknya segera menyusun peraturan teknis terkait pelaksanaan pendaftaran, perizinan, pengawasan, sistem monitoring online fintech lending, termasuk penggunaan E-KYC (electronic know your costumer), biometric, digital signature, dan dokumen elektronik.

Selain itu, OJK akan mendorong kolaborasi antara industri jasa keuangan pemerintah dengan penyelenggara fintech lending. “Berikutnya adalah dialog terbuka antara pemerintah, regulator, pemain fintech dan asosiasi dalam rangka untuk meningkatkan kualitas regulasi fintech lending,” ujar dia.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın