Analisis

Apa dampak penarikan diri AS dari perjanjian nuklir terhadap Iran?

Para pemimpin Iran mulanya mungkin saja menolak tawaran kesepakatan baru AS, namun mereka akan siap melakukan aksi ‘kelemahan heroik’ begitu mereka yakin tawaran AS bisa memperpanjang usia Republik Islam

Selim Celal  | 08.06.2018 - Update : 09.06.2018
Apa dampak penarikan diri AS dari perjanjian nuklir terhadap Iran?

Istanbul

Selim Celal

ISTANBUL

Pada 8 Mei 2017, AS menarik diri dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), yang ditandatangani pada 2015 antara Iran dengan kelompok negara-negara terkuat dunia P5+1 — AS, Inggris, Prancis, China, Rusia, dan Jerman. Menurut pakta itu, Republik Islam setuju membekukan aktivitas nuklir mereka hingga 2031 dengan imbalan pengangkatan sebagian sanksi internasional yang dijatuhkan kepada negara ini karena program nuklir mereka.

Sejak awal, JCPOA telah membelah opini, ada yang menentang dan mendukungnya. Di AS, mayoritas anggota Partai Republik menentang sementara Partai Demokrat mendukungnya. Di Iran, kekuatan modern-reformis menyuarakan persetujuan, namun para garis keras, seperti Garda Revolusi Islam (Guardian of the Islamic Revolution/GIR), memiliki keberatan-keberatannya sendiri. Ditambah, kekuatan oposisi Iran di luar negeri menentangnya. Mereka yakin JCPOA memberikan perpanjangan nafas untuk keberlangsungan Republik Islam, yang menurut mereka, sudah di ambang kehancuran. Daftar panjang musuh-musuh yang membenci kesepakatan ini adalah Israel, Arab Saudi, dan kesultanan-kesultanan Arab lain di wilayah itu.

Penarikan diri AS ini tak lagi mengejutkan. Toh, ini sudah dijanjikan jauh-jauh hari oleh Presiden Trump dalam kampanye pemilu pada 2016. Yang kini masih menyisakan pertanyaan: apa saja implikasi penarikan diri AS ini? Bisakah JCPOA bertahan tanpa AS? Jika tidak, siapa yang patut disalahkan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memulai dengan mengetahui alasan di belakang keputusan Trump ini.

Mudah untuk mengatakan bahwa penarikan diri AS ini adalah langkah yang diambil oleh presiden yang selalu mengambil keputusan tak terduga. Tapi nyatanya, Donald Trump disumpah sebagai presiden pada Januari 2017. Dia menunggu selama 16 bulan dan memutuskan keluar dari JCPOA saat dia merasa kecewa dan menganggap kesepakatan itu kontraproduktif.

Meskipun JCPOA bisa memperlambat aktivitas nuklir Iran, perjanjian ini ternyata tak membawa perubahan pada perilaku Iran. Justru sebaliknya, segera setelah menandatangani kesepakatan, GIR meluncurkan program rudal jangka panjang yang melanggar resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa nomor 2231, yang melarang Iran mengembangkan program rudal selama delapan tahun.

JCPOA juga tak membawa dampak positif betulan pada perekonomian Iran selain memfasilitasi pencairan miliaran uang, yang sebelumnya ditahan di AS. Aliran uang tersebut kemudian diinvestasikan oleh GIR kepada proyek ‘sabit Syiah’. John Kerry, menteri luar negeri AS kala itu, mengatakan saat menandatangani JCPOA bahwa kesepakatan ini akan membuat Timur Tengah lebih mudah ditangani.

Tapi keterlibatan Iran di negara-negara lain di wilayah tersebut, dari Yaman dan Suriah ke Irak dan lainnya, telah membuat kawasan Timur Tengah jauh lebih pelik sekarang. Inilah alasan mengapa posisi para pemimpin Uni Eropa sangat lemah kala meyakinkan Presiden Trump untuk mempertahankan pakta. Mereka tak bisa membela atau menampik peran Iran di Yaman, Suriah, Afghanistan, dan Irak, atau program rudal mereka.

Faktanya, dalam negosiasi JCPOA, AS dan sekutu-sekutunya di Uni Eropa sangat lunak kepada Republik Islam. Tujuan tersamar mereka adalah menyingkirkan ‘kelompok garis keras’ di Iran dengan cara memperkuat posisi Presiden Rouhani dan kekuatan ‘moderat-reformis’.

Hasilnya, mereka melewatkan poin penting bahwa ada pemikiran sama antara kelompok moderat dengan garis keras di Iran karena akar ideologi mereka bagaimanapun adalah sama. Lebih penting lagi, AS dan UE gagal memahami bahwa ketika mereka melakukan diplomasi konvensional (berdasarkan untung-rugi), sikap diplomasi Republik Islam didasari oleh ‘taqiyah’ (prinsip kehati-hatian dan pencegahan), sebuah prinsip kunci dalam politik Syiah.

Dalam bukunya "The Age of Deception: Nuclear Diplomacy in Treacherous Times", Mohammed ElBaradei, mantan kepala Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mendedikasikan satu bab penuh dengan sub judul “Teka-teki Taqiyah”, di mana dia menerangkan bagaimana prinsip ini digunakan oleh pemerintahan reformis Presiden Muhammad Khatami, dan bagaimana prinsip ini juga menjadi penghancur setiap perjanjian nuklir Iran. Bila semua potongan ini disusun, siapa saja bisa melihat bahwa Republik Islam sama bertanggungjawabnya atas kegagalan JCPOA.

Segera setelah penarikan diri AS, pernyataan keras datang dari para pemimpin UE yang menentang aksi sepihak Amerika. Mereka mencoba meyakinkan Iran untuk terus menjalankan kesepakatan ini tanpa AS. Hal ini membuat banyak analis percaya bahwa keretakan tengah terjadi antara AS dan sekutu-sekutu Eropanya, yang pada akhirnya akan mengakhiri hegemoni global Amerika.

Meskipun banyak yang setuju dengan hipotesis Paul Kennedy dalam ‘Rise and Fall of Great Powers’, dan mengharapkan tatanan dunia yang bebas dari hegemoni Amerika, tampaknya era bahagia ini belum akan datang dalam waktu dekat.

Menyitir peribahasa Asia Selatan: “Butuh waktu berhari-hari untuk mengubur bangkai gajah”. Pun jika hal ini terjadi, JCPOA tidak akan menjadi alasannya, karena keretakan yang kini terjadi antara AS dengan sekutu Eropanya bukanlah keretakan strategis, namun sekadar teknis belaka. Ada semacam konsensus di antara AS dan UE bahwa JCPOA sejak awal penuh dengan kekurangan. Perbedaannya adalah, AS ingin menghancurkan kesepakatan ini dan membuat kesepakatan baru, sementara UE ingin melibatkan Iran dan meningkatkan perjanjian yang sudah ada.

Meski usaha para pemimpin UE untuk mempertahankan pakta ini boleh diberi apresiasi, namun kenyataan pahitnya, perpolitikan dunia tidak berjalan berdasarkan harapan dan keinginan, namun kemampuan dan sumber daya. Mungkin analogi berikut bisa lebih mudah menggambarkan masa depan kesepakatan ini: Sekelompok orang merencanakan bepergian bersama. Sekarang, salah satunya memutuskan untuk membatalkan, sementara yang lain masih berminat pergi. Namun permasalahannya, pihak yang membatalkan adalah pemilik semua perlengkapan yang dibutuhkan untuk bepergian, termasuk kendaraan yang akan dipakai oleh semua anggota kelompok untuk menuju tempat piknik.

Dengan keluarnya AS, JCPOA telah kehilangan mesin pengangkutnya, dan UE, meski mereka tulus dan berkeinginan kuat, tidak mampu mempertahankan kemauannya. Berdasarkan liberalisme komersial, UE tidak akan mampu berperang dengan pasar dan memaksa perusahaan-perusahaan di negaranya untuk melakukan bisnis dengan Iran.

Sebagai tambahan, para pemilik perusahaan juga tidak akan mengambil risiko karena mereka bertanggung jawab kepada para pemegang saham. Keadaan ini benar adanya bila pemegang saham mayoritas di perusahaan-perusahaan Eropa tersebut adalah warga Amerika.

Bisa dikatakan, perkembangan dari AS jelas menunjukkan bahwa penarikan diri negara ini dari JCPOA bukanlah keputusan tunggal. Ini adalah bagian dari rencana yang lebih besar. Episode selanjutnya dibuka pada 21 Mei oleh Michael Richard Pompeo, dalam pidato perdananya sebagai menteri luar negeri AS. Dia menjabarkan 12 tuntutan dan bersumpah bila Iran gagal mengikuti, “sengatan sanksi-sanksi akan menyakitkan” untuk negara ini.

Tuntutan-tuntutan ini tak menggoyahkan para pemimpin Iran. Beberapa jam setelah pidato Pompeo ini, Presiden Hassan Rouhani bereaksi, dengan berkata, “Pria itu bekerja di agensi mata-mata selama bertahun-tahun, sekarang dengan kapasitas menteri luar negeri AS, ingin membuat keputusan untuk seluruh negara yang tentu saja tidak dapat diterima.” Tiga hari setelahnya, pada 24 Mei, pemimpin agung membalas dengan daftar tuntutan kepada UE dan mengancam Republik Islam akan meninggalkan JCPOA bila tuntutan mereka tak dipenuhi.

Meski begitu, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pernyataan-pernyataan ini hanya sekadar retorika, karena Republik Islam berada dalam posisi terlemahnya. Secara ekonomi, Iran berada di ujung jurang kebangkrutan, dengan mata uangnya terus terdepresiasi. Secara politik, Iran belum stabil akibat gejolak sosial yang mengguncang negara tersebut pada Desember 2018.

Oleh sebab itu, pilihan untuk para pemimpin Iran menjadi sangat terbatas. Pemimpin agung telah bersumpah, jika Presiden Trump merobek-robek perjanjian tersebut, Republik Islam akan membakarnya. Namun alih-alih membakar kesepakatan tersebut, hanya bendera Amerika Serikat yang dibakar oleh beberapa anggota parlemen di lantai gedung parlemen. Di sisi lain, menteri luar negeri Iran meluncurkan diplomasi yang meyakinkan para pemimpin UE bahwa Iran siap melaksanakan JCPOA meski tanpa AS.

Meskipun para pemimpin Iran mengatakan telah mencoret kemungkinan menegosiasikan kesepakatan baru, sejarah Republik Islam menunjukkan sebaliknya. Masalah utama negara ini adalah tak bisa membuat keputusan tepat di waktu yang tepat. Contohnya, di tahun-tahun pertama Perang Iran-Irak, Ayatollah Khomeini menolak tawaran negara-negara Arab untuk melakukan gencatan senjata dengan imbalan kompensasi. Namun setelah delapan tahun, dia bersedia meletakkan senjata dengan keuntungan yang jauh lebih kecil, hingga menyebut keputusan ini “lebih mematikan ketimbang menenggak racun”.

Sama halnya, Iran menghamburkan jutaan dolar selama hampir dua dekade; dan perekonomian nasional mereka hancur akibat sanksi-sanksi internasional yang berat; hanya ketika itulah, pemimpin agung memerintahkan untuk “kelemahan heroik” atau mengalah namun tidak untuk kalah (narmish e qahremananih). Untuk itu, para pemimpin Iran mungkin pada awalnya menolak tawaran AS untuk membuat kesepakatan baru, namun mereka akan siap melakukan aksi “kelemahan heroik” ini begitu mereka yakin bahwa kesepakatan baru akan menambah beberapa tahun lagi pada keberlangsungan negara Republik Islam.

Lagi pula, prinsip pedoman mereka adalah fatwa Ayatollah Khomeini: “Menjaga sistem politik Islam adalah kewajiban yang paling mulia” (Hifz e nizam az awjab e wajibat ast).

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Anadolu Agency

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın