Politik, Dunia, Analisis

ANALISIS - Perjanjian Kosovo-Serbia banyak gimik, minim substansi

Pemerintahan Trump mengelu-elukan kesepakatan itu sebagai "terobosan besar", yang pada kenyataannya sama sekali tidak

Maria Elisa Hospita  | 16.09.2020 - Update : 18.09.2020
ANALISIS - Perjanjian Kosovo-Serbia banyak gimik, minim substansi Pemerintahan Trump menjamu delegasi Kosovo dan Serbia di Gedung Putih untuk melanjutkan proses normalisasi hubungan kedua negara pada 4 September 2020. (Gedung Putih - Anadolu Agency)

Istanbul

Dr. Idlir Lika

Penulis adalah seorang sarjana politik komparatif etnis dan nasionalisme, yang berfokus pada negara-negara Balkan atau Eropa Tenggara. Dia menerima gelar PhD untuk Ilmu Politik dari Universitas Koc. Artikelnya telah diterbitkan di berbagai jurnal studi terkemuka, seperti Mediterranean Politics.

ISTANBUL

Pada 4 September, pemerintahan Trump menjamu delegasi Kosovo dan Serbia di Gedung Putih untuk melanjutkan proses normalisasi hubungan kedua negara. Dalam upacara penandatanganan di Oval Office, Kosovo dan Serbia setuju untuk "menormalisasi hubungan ekonomi" dengan menandatangani sejumlah perjanjian.

Namun, tak ada satu dokumen pun yang diteken oleh kedua belah pihak, meskipun sebenarnya dua dokumen terpisah yang cukup mirip telah ditandatangani oleh Presiden Serbia Aleksandar Vucic dan Perdana Menteri Kosovo Avdullah Hoti secara terpisah. Yang tidak kalah pentingnya, Amerika Serikat juga tak menandatangani dokumen tersebut. Artinya, yang ditandatangani di Oval Office memang bukan kesepakatan bilateral. Ketika kami memeriksa isi kedua dokumen tersebut, ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan.

Cacatnya logika “ekonomi dulu, politik kemudian"

Baik Kosovo dan Serbia sepakat untuk menerapkan serangkaian perjanjian (sebelumnya ditandatangani pada 14 Februari 2020) untuk meningkatkan konektivitas kereta api dan jalan raya antara kedua negara, yang akan menghubungkan infrastruktur ini ke pelabuhan di Laut Adriatik. Selain itu, kedua negara berjanji untuk bekerja sama dengan AS dalam nota kesepahaman untuk operasional penyediaan pinjaman yang diperlukan untuk usaha kecil dan menengah (UKM) dan proyek bilateral tambahan, tanpa benar-benar menjelaskannya.

Penerapan langkah-langkah ini sejak lama dipuji oleh Richard Grenell, utusan khusus Trump untuk Kosovo dan Serbia, karena dianggap sebagai "tulang punggung" normalisasi ekonomi antara Beograd dan Pristina. Menurut Grenell, konflik dua dekade itu hanya dapat diselesaikan melalui normalisasi ekonomi, ketersediaan lapangan pekerjaan untuk kaum muda, dan pertumbuhan ekonomi.

Anda bisa mulai berbicara tentang masalah politik hanya setelah ekonomi mulai membaik dan kepercayaan dibangun antara kedua pihak. “Bagaimana Anda bisa berpura-pura mengupayakan kesepakatan akhir jika perbatasan tidak dibuka dan tidak ada penerbangan yang menghubungkan antara Pristina dan Begrad bagi kalangan pebisnis? Itu benar-benar bodoh," tukas Grenell pada Juni lalu.

Dalam hal ini, komitmen Kosovo untuk bergabung dengan zona mini-Schengen yang diumumkan oleh Serbia, Albania, dan Makedonia Utara pada Oktober 2019 tampaknya menjawab kekhawatiran Grenell. Namun, logika “ekonomi dulu, politik kemudian” untuk menyelesaikan konflik Beograd dan Pristina memiliki kelemahan dan mengabaikan sejumlah poin.

Yang pertama dan terpenting, hambatan utama bagi kemajuan ekonomi di Kosovo dan Serbia (tetapi terutama di Kosovo) adalah kurangnya pengakuan diplomatik timbal balik dan supremasi hukum. Di sisi lain, praktik korupsi dan otoriterisme justru merajalela. Tidak akan ada investasi jangka panjang yang serius dan eksploitasi dari kedua negara tidak dapat dihentikan kecuali ada hak kepemilikan yang aman dan sistem peradilan yang tak bias. Prospek pencapaian ini akan tampak nyata hanya jika Kosovo bergabung dengan NATO dan Serbia masuk ke Uni Eropa.

Namun langkah ini bergantung pada dua tindakan politik: AS menekan empat anggota NATO (Yunani, Rumania, Slovakia, dan Spanyol) untuk mengakui Kosovo; dan pengakuan Serbia atas kemerdekaan Kosovo. Dengan demikian, normalisasi politiklah yang akan membawa normalisasi ekonomi dan bukan sebaliknya.

Seperti yang dipaparkan Daron Acemoglu dan James Robinson dalam Why Nations Fail? yakni lembaga politik inklusiflah yang menghasilkan lembaga ekonomi inklusif. Singkatnya, pemerintahan Trump tampaknya telah salah langkah dalam kesepakatan Kosovo-Serbia.

Kedua, komitmen kedua belah pihak untuk bekerja dengan Departemen Energi AS dalam studi kelayakan untuk berbagi Danau Ujmani (Gazivode) sebagai pasokan air dan energi yang andal tidak jelas dan tidak sesuai dengan kedaulatan Kosovo. Danau Ujmani adalah danau buatan terbesar di Kosovo dan sumber air dan energi utama negara.

Hanya 22 persen dari luas permukaannya berada di dalam wilayah Serbia, sedangkan di Kosovo terletak di Zubin Potok yang mayoritas penduduknya adalah orang-orang Serbia. Komitmen untuk berbagi danau ini hanya dapat merugikan tujuan akhir Kosovo untuk diakui oleh Serbia sekaligus melanggar kedaulatan teritorial Pristina.

Ketiga, kesepakatan Kosovo untuk bergabung dengan "zona mini-Schengen" tidak punya nilai praktis. Secara formal, "zona mini-Schengen" tidak ada. Apa yang disebut-sebut sebagai "zona mini-Schengen" hanyalah fiksi belaka, karena tidak menunjukkan apa-apa selain dukungan retoris dari Albania, Makedonia Utara, dan para pemimpin Serbia (yang bertemu tiga kali antara Oktober-Desember 2019 di Novi Sad, Ohrid, dan Durres) untuk mengembangkan rencana yang akan memfasilitasi perjalanan lintas batas dan pergerakan barang di antara negara-negara yang terlibat.

Oleh karena itu, kecuali langkah-langkah konkret dilakukan untuk meresmikan rencana kerja sama tersebut, komitmen Kosovo untuk bergabung dengan "zona mini-Schengen" tidak akan membawa banyak dampak dalam menormalisasi hubungan ekonominya dengan Serbia.

Terakhir, jika rencana AS untuk mengembangkan hubungan ekonomi antara Kosovo-Serbia benar-benar membuahkan hasil, maka peningkatkan perdagangan dengan Serbia hanya akan memperburuk defisit perdagangan Kosovo, yang sudah menjadi yang tertinggi di kawasan itu.

Tanpa menangani masalah korupsi dan menjamin supremasi hukum, dana internasional untuk investasi dan pembangunan yang diramalkan dalam kesepakatan kemungkinan besar hanya akan berakhir di kantong politikus, yang tentunya tidak akan memberikan manfaat praktis sama sekali bagi negara dan masyarakat.

"Kesepakatan" Trump

Ada beberapa klausul dalam perjanjian yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan normalisasi hubungan ekonomi Kosovo-Serbia, tetapi tetap dimasukkan, yang justru tampak konyol. Klausul itu di antaranya kedua negara setuju untuk bekerja dengan 69 negara yang mengkriminalisasi homoseksualitas demi mendorong dekriminalisasi; berjanji untuk menunjuk Hizbullah sebagai organisasi teroris; sepenuhnya menerapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk membatasi operasi dan kegiatan Hizbullah di yurisdiksi mereka; Kosovo dan Israel sepakat untuk saling mengakui satu sama lain dan Serbia setuju untuk memindahkan kedutaan besarnya di Israel ke Yerusalem per 1 Juli 2021.

Klausul yang mensyaratkan saling pengakuan antara Kosovo dan Israel hanya ada dalam dokumen yang ditandatangani oleh PM Kosovo Hoti, sedangkan klausul dimana Serbia setuju untuk merelokasi kedutaan besarnya di Yerusalem hanya ada dalam dokumen yang ditandatangani oleh Presiden Serbia Vucic. Pada dasarnya, inilah satu-satunya perbedaan isi antara dua perjanjian yang ditandatangani secara terpisah oleh Hoti dan Vucic.

Sehubungan dengan poin-poin yang dikemukakan di atas, semakin jelas bahwa yang ditandatangani di Oval Office pada 4 September, bukanlah kesepakatan bilateral antara Kosovo dan Serbia, melainkan komitmen bersama mereka untuk melayani kampanye Donald Trump. Ini terlihat dari komitmen-komitmen mereka yang menyelaraskan diri dengan tujuan kebijakan luar negeri AS.

Usai upacara penandatanganan di Oval Office, Trump bahkan mencuit: "Hari besar untuk perdamaian dengan Timur Tengah sudah tiba! Kosovo dan Israel sepakat menormalisasi hubungan dan membangun hubungan diplomatik. Semua sudah selesai dilakukan dengan baik! Akan lebih banyak negara Islam dan Arab yang segera menyusul langkah ini," ujar dia.

Cuitan ini tak hanya konyol, tetapi juga memancing amarah partai oposisi sosialis Vete-Vendosja dan kelompok Islamofobia lainnya di Kosovo yang dengan cepat menegaskan bahwa Kosovo bukanlah negara Islam atau Arab, tetapi negara Eropa yang sekuler.

Langkah ini juga dapat merusak hubungan Kosovo dengan Turki, yang secara konsisten memperjuangkan perjuangan kemerdekaan Kosovo di berbagai forum internasional. Lewat sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Turki menyatakan "keprihatinan besar" terhadap dampak keputusan Kosovo yang membuka kedutaan besarnya di Yerusalem dan meminta pimpinan Kosovo untuk tidak mengambil keputusan yang dapat menghalanginya mendapat pengakuan dari negara lain.

Sementara itu, Belgia mengatakan bahwa keputusan Kosovo dan Serbia untuk membuka kedutaannya di Yerusalem adalah "masalah yang sangat memprihatinkan dan patut disesali". Belgia juga mendesak kedua negara untuk menyesuaikan sikap kebijakan luar negeri mereka dengan sikap bersama Uni Eropa tentang masalah Israel-Palestina.

Melihat ke depan

Secara keseluruhan, apa yang ditandatangani di Oval Office pada 4 September jelas memiliki tujuan jangka pendek untuk melayani kepentingan Trump dan tidak mencerminkan komitmen apa pun atau komitmen jangka panjang oleh Gedung Putih untuk melancarkan dialog Kosovo-Serbia.

Pada sisi lain, pemerintahan Trump memuji perjanjian itu sebagai "terobosan besar". Kesepakatan yang bertumpu pada logika yang cacat tidak akan berhasil. Jika Washington benar-benar berkomitmen dalam dialog Kosovo-Serbia, maka AS harus bekerja dalam koordinasi yang erat dengan UE.

Seorang pakar kebijakan luar negeri di Balkan, Edward Joseph, menekankan bahwa keempat negara NATO dan UE yang tidak mengakui Kosovo (Yunani, Rumania, Slovakia, dan Spanyol) harus merealisasikan langkah itu. Tujuannya, membuka jalan bagi aksesi Kosovo ke NATO, untuk melancarkan negosiasi dengan Beograd, karena situasi saat ini lebih menguntungkan Beogard.

Menciptakan jalur terpisah untuk melanjutkan dialog Kosovo-Serbia (seperti yang telah dilakukan Richard Grenell selama dua tahun terakhir), sementara Washington menangani masalah ekonomi dan mengoper bola ke Brussel untuk urusan politik, tidak akan menyelesaikan apa pun dan hanya akan melanggengkan ketidakstabilan regional.

Penggulingan pemerintah koalisi Albin Kurti di tengah pandemi Covid-19 di Kosovo, transformasi Serbia menjadi negara otoriter, dan prasangka buruk antara Washington dan Brussel tentang Kosovo menjadi pengingat bahwa kebijakan luar negeri sepihak di Balkan dapat menimbulkan dampak yang destruktif.

*Opini yang dituangkan dalam artikel ini adalah pandangan pribadi penulis dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Anadolu Agency

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.