Dunia, Analisis

ANALISIS - Bagaimana sektarianisme pengaruhi kebijakan luar negeri Lebanon

Ada 18 komunitas agama yang diakui di Lebanon, dan dengan sistem pembagian kekuasaan berbasis sekte, identitas Lebanon yang menyeluruh kini tidak terlihat lagi

Ekip  | 08.12.2021 - Update : 09.12.2021
ANALISIS - Bagaimana sektarianisme pengaruhi kebijakan luar negeri Lebanon Ilustrasi (Foto file - Anadolu Agency)


ISTANBUL

Lebanon memiliki sistem pembagian kekuasaan yang diakui di mana jumlah perwakilan, posisi politik, dan distribusi kekuasaan telah ditentukan sebelumnya di antara kelompok-kelompok agama di negara tersebut.

Ada 18 komunitas agama yang diakui di Lebanon, dan dengan sistem pembagian kekuasaan berbasis sekte, identitas Lebanon yang menyeluruh kini tidak terlihat lagi.

Lebanon adalah salah satu negara komunitarian paling ekstrem di dunia. Identitas sektarian sangat membentuk kesetiaan politik serta persona publik individu. Karena kepentingan sektarian terkait dengan kepentingan pribadi, tidak mungkin ada identitas nasional kolektif yang kuat.

Akibatnya, kebijakan luar negeri negara menderita dari identitas yang terfragmentasi ini. Perkembangan terakhir dan pertikaian diplomatik antara Lebanon dan Aliansi Saudi mengungkapkan fakta ini sekali lagi.

Sistem pembagian kekuasaan Lebanon

Sistem politik berbasis agama Lebanon disebut konfesionalisme. Sistem ini diwarisi dari periode mandat Prancis dan diperbarui ketika Lebanon mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1943.

Pada awalnya, parlemen dibagi menjadi rasio 6-5 Kristen dan Muslim. Posisi politik kritis didistribusikan di antara komunitas; yaitu, presiden harus seorang Kristen Maronit, perdana menteri seorang Muslim Sunni dan ketua parlemen harus seorang Muslim Syiah.

Sistem pembagian kekuasaan yang telah ditentukan sebelumnya dapat bekerja dengan baik ketika demografi stabil.

Namun, mereka cenderung menciptakan kebuntuan dalam sistem dan immobilisme politik seiring dengan perubahan demografi. Perang Arab-Israel 1967 membuka jalan bagi perubahan demografis di Lebanon yang signifikan.

Imigrasi pascaperang ke Lebanon dan emigrasi Kristen ke Barat secara signifikan meningkatkan jumlah penduduk Muslim. Pembagian kekuasaan yang lama jauh dari kepuasan masyarakat, yang kemudian mengakibatkan Perang Saudara Lebanon (1975-1990).

Pada 1989, Perjanjian Ta'if membangun perdamaian antar komunitas, mengubah rasio perwakilan lama antara Kristen dan Muslim menjadi seimbang.

Perjanjian tersebut juga meningkatkan kekuasaan perdana menteri Sunni sehingga merugikan kursi kepresidenan, yang diperuntukkan bagi komunitas Kristen Maronit.

Posisi di Kabinet juga dialokasikan di antara sekte, dan identitas sektarian membantu orang menemukan pekerjaan di kementerian dan lembaga pemerintah lainnya. Ada persaingan antar-sektarian dan nepotisme yang signifikan di lembaga-lembaga publik.

Identitas sektarian didahulukan dari nasionalitas

Di Lebanon, individu mendefinisikan diri mereka dengan identitas agama/etnis mereka sebelum identitas nasional yang menyeluruh.

Persaingan antar komunitas dapat diamati baik di tingkat individu maupun dalam politik luar negeri negara. Semua sekte mencoba memaksimalkan kekuatan mereka dan menggunakan pendukung mereka untuk mencapai tujuan ini.

Kesenjangan sosial juga mendorong budaya politik yang terfragmentasi ini. Semua komunitas memiliki sekutu mereka di tingkat internasional dan dengan demikian, negara ini sangat terpengaruh oleh intervensi asing.

Aktor-aktor utama di kawasan seperti Iran, Arab Saudi, dan Turki, ditambah aktor global seperti Rusia, Prancis, dan Amerika Serikat (AS), memiliki ikatan agama atau budaya dengan komunitas Lebanon, mengubah negara itu menjadi medan perang proksi.

Berbeda dengan Turki yang mendukung integritas Lebanon, di sisi lain Prancis, Arab Saudi, dan Iran melancarkan kebijakan yang lebih agresif di negara itu untuk memperluas pengaruh mereka lebih banyak. Komunitas digunakan untuk kontestasi pengaruh ini.

Perselisihan diplomatik antara Lebanon dan Arab Saudi

Dalam beberapa minggu terakhir, Arab Saudi memutuskan hubungan dengan Lebanon setelah komentar Menteri Informasi Lebanon Kordahi tentang Perang Saudara Yaman.

Perselisihan dimulai setelah pernyataan Kordahi tentang intervensi militer pimpinan Saudi terhadap pemberontak Houthi. Kordahi menyatakan bahwa Houthi membela diri, dan dia menyebut intervensi militer sebagai "agresi eksternal."

Arab Saudi menanggapi dengan mengusir duta besar Lebanon dan menerapkan larangan impor di negara itu.

UEA, Bahrain, dan Kuwait mengikuti Arab Saudi dengan sanksi serupa. Qatar turut mengutuk komentar Kordahi tanpa menjatuhkan sanksi lebih lanjut, dan Oman tetap netral.

Faktanya, tanggapan negara-negara Teluk bukanlah hasil dari komentar satu menteri. Isu utama di sini adalah dampak pertumbuhan Iran di Lebanon. Kerajaan dan sekutunya tidak ingin kehilangan pengaruh mereka terhadap saingan regional.

Setelah satu bulan dari krisis diplomatik ini, Menteri Penerangan Kordahi mengumumkan pengunduran dirinya.

"Saya menolak digunakan sebagai alasan untuk menyakiti Lebanon dan sesama warga Lebanon di Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya," kata Kordahi dalam konferensi pers.

Prancis memberikan pengaruh yang cukup besar pada keputusan ini. "Lebanon tidak akan menjadi agenda pertemuan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang akan datang di Riyadh jika Menteri Penerangan Kordahi tidak mengundurkan diri pada 4 Desember," kata Perdana Menteri Lebanon Mikati.

Negara itu bisa saja terseret ke dalam krisis jika pengunduran diri Menteri Penerangan Kordahi terjadi tanpa rekonsiliasi antara komunitas sektarian Lebanon. Interaksi masyarakat Lebanon tetap sangat sedikit sejak perang saudara, dan mereka mudah terpengaruh oleh masalah asing.

Efek dari keruntuhan ekonomi

Negara-negara makmur lebih mungkin untuk mentolerir perselisihan antar-sektarian dan cenderung tidak terpengaruh oleh masalah diplomatik. Namun, Lebanon menghadapi krisis ekonomi terburuk sejak perang saudara. Menurut Bank Dunia, Lebanon telah mengalami salah satu krisis keuangan terburuk di dunia sejak pertengahan abad ke-19.

Ketimpangan sosial, kemiskinan, inflasi yang tidak terkendali, dan pengangguran yang tinggi menciptakan sejumlah besar keresahan di masyarakat.

Krisis ini memperkuat identitas agama, meninggalkan Lebanon dengan sistem politik yang disfungsional dan identitas nasional yang terfragmentasi.

Identitas nasional yang lemah semakin terancam oleh ekonomi yang memburuk. Sistem tidak mungkin berubah segera dan mungkin akan menciptakan lebih banyak masalah di masa depan.  

Sangat disayangkan, jika ekonomi negara itu pulih, struktur konstitusional akan terus menjadi ancaman nyata di Lebanon. Itulah mengapa perombakan politik adalah hal yang paling dibutuhkan di negara itu saat ini.


*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Hubungan Internasional di Universitas Amerika-Lebanon di Beirut, Lebanon Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.