ANALISIS - Ancaman resesi ekonomi Indonesia akibat Covid-19 bisa pukul pertumbuhan ASEAN
ASEAN Coordinating Council (ACC) pada April lalu memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di kawasan pada tahun ini hanya sekitar 1 persen, dan mungkin bisa turun lebih dalam bila Indonesia mengalami resesi

Jakarta Raya
JAKARTA
Penyebaran virus korona (Covid-19) menghantam pertumbuhan ekonomi global yang diprediksi oleh banyak lembaga internasional akan mengalami kontraksi dalam.
Efek buruk Covid-19 terhadap perekonomian juga diproyeksikan menghantam Indonesia, yang kemungkinan besar akan mencatat pertumbuhan negatif di kuartal kedua tahun ini, serta terancam akan mengalami resesi dengan kemungkinan pertumbuhan yang kembali negatif di kuartal ketiga mendatang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI telah menyampaikan potensi dari ancaman resesi tersebut dengan mengatakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua menurut perkiraan Kementerian Keuangan akan terkontraksi 3,8 persen.
Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan kontraksi 4,8 hingga minus 7 persen sedangkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan kontraksi mendekati 6 persen.
Dia mengatakan pada kuartal ketiga pertumbuhan ekonomi diharapkan bisa tumbuh di atas 0 persen dengan proyeksi sebesar 1,4 persen. Namun, tidak tertutup kemungkinan pertumbuhan akan kembali terkontraksi 1,6 persen.
“Apabila kembali tumbuh negatif, secara teknikal kita bisa resesi kalau kuartal kedua dan ketiga negatif. Ini kita coba kuartal ketiga tumbuh di atas 0 persen,” ungkap Menteri Sri Mulyani.
Potensi resesi Indonesia bisa hambat laju pertumbuhan ekonomi ASEAN
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan apabila pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami perlambatan dan bahkan resesi, maka bisa berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional ASEAN.
Hal ini tidak terlepas dari besarnya PDB Indonesia yang mencapai USD1 triliun yang berhasil diraih sejak 2018 silam. PDB ini jauh di atas negara-negara ASEAN lainnya, dan bahkan porsi PDB Indonesia terhadap perekonomian global sekitar 1,2 persen.
“Apa yang terjadi di Indonesia tentu berpengaruh di kawasan. Kalau ekonomi Indonesia turun, tentu pengaruhnya besar,” ujar Tauhid kepada Anadolu Agency, Selasa.
Sebelumnya, pada April lalu Ketua ASEAN Coordinating Council (ACC) yang juga Menteri Luar Negeri Vietnam Pham Binh Minh memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di kawasan pada tahun ini hanya sekitar 1 persen, jauh di bawah proyeksi sebelumnya sebesar 4,7 persen.
Proyeksi tersebut dibuat jauh sebelum Kementerian Keuangan menyampaikan adanya potensi resesi secara teknikal di Indonesia. Oleh karena itu, apabila Indonesia benar-benar mengalami resesi nantinya, maka pertumbuhan di ASEAN juga bisa terkoreksi lebih dalam lagi.
Tauhid mengatakan kondisi penyebaran Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan tren perlambatan, dan bahkan masih cenderung meningkat. Beberapa negara ASEAN lainnya yang punya pekerjaan berat dalam penanganan Covid-19 selain Indonesia adalah Singapura dan Filipina yang berada dalam tiga besar kasus terbanyak di ASEAN.
“Negara-negara lain seperti Malaysia relatif lebih baik, dan bahkan Vietnam sudah jauh lebih dulu menuju normal,” kata Tauhid.
Sementara itu, Vice President Economist Bank Permata Josua Pardede mengatakan karena ukuran ekonomi Indonesia di kawasan ASEAN merupakan yang terbesar, maka laju pertumbuhan yang melambat di Indonesia akan sangat berpengaruh di ASEAN.
“Meskipun laju pertumbuhan Vietnam mungkin lebih baik dan tumbuh positif, tapi kontribusinya terhadap ekonomi ASEAN tidak lebih tinggi dari Indonesia,” kata Josua.
Namun, Josua mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebenarnya bukan yang terburuk di kawasan, karena keterbukaan ekonomi Indonesia terhadap ekonomi global tidak sebesar Singapura, Thailand, dan Malaysia yang terpukul lebih dalam akibat perlambatan pertumbuhan global.
“Indonesia masih ada konsumsi domestik yang bisa menahan kontraksi apabila penyerapan Bansos bisa lebih cepat,” lanjut Josua.
Ancaman resesi ekonomi Indonesia kian nyata
Tauhid mengatakan ancaman terjadinya resesi di Indonesia bukan sekedar isapan jempol belaka, karena kalaupun akan ada perbaikan ekonomi di kuartal ketiga nanti, masih relatif terbatas dan berjalan lambat.
“Yang kita khawatirkan adalah adanya proyeksi OECD yang memperkirakan ada gelombang kedua Covid-19 yang bisa memperparah risiko ekonomi Indonesia,” lanjut Tauhid.
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memperkirakan pada 2020 ekonomi Indonesia terkontraksi 3,9 persen apabila terhantam gelombang kedua Covid-19. Sementara tanpa gelombang kedua Covid-19, ekonomi Indonesia terkontraksi 2,8 persen.
“Kalau kasus penularan masih tinggi dan pembatasan sosial di banyak daerah masih berlaku, tentu akan mempengaruhi ekonomi nasional sehingga menciptakan potensi resesi,” jelas dia.
Tauhid bahkan memperkirakan pertumbuhan pada kuartal ketiga nanti masih di bawah 0 persen karena beberapa daerah masih menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) seperti Jawa Timur yang memiliki porsi cukup besar terhadap perekonomian nasional sekitar 14 persen.
Relaksasi PSBB di Jakarta juga belum membuat aktivitas produksi dan ekonomi berjalan normal, sehingga masih perlu waktu lebih lama untuk pemulihan ekonomi.
Dia mengatakan pemerintah harus bisa fokus menekan angka penularan Covid-19 karena apabila kasus masih tinggi, maka sulit berarap Indonesia bisa terhindar dari resesi.
“Potensi resesi diperbesar dengan belum efektifnya stimulus fiskal yang diberikan pemerintah, dengan penyerapan rata-rata masih di bawah 10 persen,” kata dia.
Oleh karena itu, apabila dana stimulus yang disediakan pemerintah belum optimal, maka ekonomi tidak bisa diharapkan akan pulih cepat.
“Kalaupun ada perbaikan ekonomi di kartal ketiga, itu hanya karena relaksasi PSBB, bukan karena dampak stimulus yang diperkirakan baru mulai bisa berjalan di kuartal keempat nanti,” urai Tauhid.
Tauhid mengatakan efek positif stimulus baru akan terlihat pada 2021 mendatang, sehingga ekonomi pada tahun ini masih akan sangat berat.
Dia bahkan mengatakan target pertumbuhan ekonomi pada tahun depan yang sebesar 4,5 persen hingga 5,5 persen masih terlalu optimistis karena menggunakan asumsi pertumbuhan terlemah terjadi hanya di kuartal kedua, sementara proses pemulihan yang jauh lebih lama harus bisa diantisipasi pemerintah.
Sementara itu, Josua juga mengatakan percepatan penyerapan anggaran untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi, serta anggaran belanja reguler menjadi poin penting agar pertumbuhan ekonomi di kuartal ketiga dan keempat bisa membaik.
“HIngga saat ini tingkat penyerapan anggaran untuk kesehatan, bantuan sosial, dan pemulihan ekonomi sebagaimana sudah disampaikan Menteri Keuangan masih lambat,” kata Josua.
Apabila penyerapan anggaran bisa dipercepat, maka ada harapan ekonomi di kuartal ketiga bisa mulai tumbuh positif.
Percepatan pemulihan ekonomi jadi isu utama
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan dalam kondisi pandemi seperti saat ini, isu utama yang harus menjadi perhatian adalah pada seberapa cepat pemulihan ekonomi bisa dilakukan, bukan pada resesi ekonomi yang mungkin terjadi.
“Resesi bukan menjadi permasalahan, karena hampir semua negara mengalami resesi akibat Covid-19 dan bukan hanya Indonesia, sehingga resesi ini normal terjadi,” kata Piter.
Dia mengatakan yang terpenting adalah pemerintah harus bisa menghindarkan Indonesia dari krisis akibat banyaknya sektor dunia usaha yang bangkrut, karena akan membuat proses pemulihan ekonomi dipastikan akan lebih panjang dan membutuhkan waktu 4 hingga 5 tahun untuk kembali ke pertumbuhan 5 persen.
“Isu resesi ini bukan salah pemerintah atau salah siapa pun, karena terjadi secara global, dan juga bukan sesuatu yang menyeramkan selama pemerintah bisa berupaya untuk bangkit secara cepat,” kata Piter.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.