ANALISIS – Aliansi baru Saudi-Emirat dan masa depan GCC
Intrik dan perselisihan dalam hubungan bilateral Arab Saudi-UEA menunjukkan bahwa persekutuan mereka memusuhi Qatar hanya berdasar kenyamanan belaka, tanpa fondasi ideologis yang kuat

Ankara
Pada 5 Desember 2017, Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab (UEA) mengumumkan aliansi politik dan militer baru antara dua negara di Teluk, UEA dengan Arab Saudi. Aliansi ini membuat kedua negara bisa bertindak dalam level bilateral dalam menangkis pengaruh Iran di Timur Tengah, juga mengembangkan inisiatif-inisiatif ekonomi yang saling menguntungkan.
Meski para pejabat Saudi dan Emirat terus-terusan menegaskan komitmen mereka untuk menjaga keutuhan Dewan Kerja sama Negara-negara Arab di Teluk (Gulf Cooperation Council/GCC), krisis Qatar yang masih berlarut-larut membuat banyak analis Arab memperkirakan aliansi baru Saudi-UEA bakal menggasak kepentingan strategis GCC.
Spekulasi semakin mencuat tatkala pertemuan para pemimpin negara GCC pada 5 Desember lalu mendadak dipersingkat, karena Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz menolak bertolak ke Kuwait untuk bertemu dengan Emir Qatar Tamim bin Hamad Al Thani.
Meskipun tensi antar-negara dalam GCC saat ini sedang dalam level tertinggi sejak pendirian organisasi ini pada 1981, analisis lebih dekat tentang dinamika geopolitik di Teluk Persia menunjukkan bahwa koalisi Saudi-UEA ini tak akan membuat GCC luluh-lantak.
Prospek keberlangsungan GCC dipastikan oleh keengganan Arab Saudi menjadikan Qatar musuh jangka panjang, sementara itu ketegangan yang terjadi antara Riyadh dan Abu Dhabi dapat melemahkan aliansi militer mereka.
Terlepas dari retorika anti-Qatar yang secara mengejutkan muncul dari Riyadh dan seruan Bahrain mengeluarkan Qatar dari GCC, bila Qatar benar-benar memisahkan diri dari GCC maka Riyadh akan mendapatkan tantangan serius dalam hal kepentingan strategis.
Qatar memiliki sumber daya finansial tak terbatas dan jaringan dengan kelompok-kelompok Islam di seluruh jazirah Arab, yang bakal menjadikannya musuh tangguh untuk dihadapi oleh Saudi-UEA.
Pertarungan proxy war dari dua front ini akan memecah sumber daya Saudi dari perjuangan eksistensi mereka melawan Iran dan menimbulkan pakta keamanan anti-Saudi dari aliansi Qatar-Iran. Risiko ini terlalu besar sehingga dengan sendirinya mematahkan teori bahwa usaha Riyadh untuk mengisolasi Qatar secara ekonomis dan diplomatik bertujuan untuk mengalahkan Doha.
Alih-alih, diplomasi kekerasan yang dilakukan Arab Saudi terhadap Doha adalah perjudian untuk meyakinkan Qatar mengakui hegemoni Arab Saudi atas GCC dan membuat Qatar berhenti mendanai kelompok Islam yang mengancam kepentingan Saudi di Timur Tengah.
Aliansi baru Arab Saudi-UEA adalah lemparan dadu terakhir karena strategi untuk mengisolasi Qatar gagal di tingkat regional. Meski pernyataan Al Thani bahwa Qatar semakin makmur setelah hubungannya putus dengan negara-negara GCC tampak melebih-lebihkan, perluasan perdagangan dengan Rusia, Tiongkok, dan Pakistan – serta keberhasilannya menghindari resesi ekonomi – telah menunjukkan kekuatan Qatar di wilayah itu.
Keteguhan Qatar bertahan di bawah tekanan ini tak diprediksi sebelumnya oleh para petinggi Saudi, dan kemungkinan besar akan mendorong Saudi untuk mengevaluasi kembali strategi mereka menghadapi Qatar.
Karena para petinggi Saudi dan Emirat tidak ingin Qatar selamanya memalingkan kebijakan luar negeri mereka dari GCC, aliansi Saudi-UEA yang baru ini bisa jadi akhirnya terintegrasi dengan GCC. Untuk mengembalikan persatuan di Teluk, Riyadh dan Abu Dhabi dapat meminta partisipasi Qatar dalam proyek-proyek terbatas dan didiskusikan dalam kerangka kemitraan ekonomi dan keamanan bilateral mereka yang baru.
Normalisasi hubungan di antara aliansi Saudi-UEA dengan Qatar baru bisa terlaksana bila konflik di Suriah dan Yaman menunjukkan jalan perdamaian. Front GCC yang bersatu akan memperkuat posisi tawar negara-negara Arab Teluk saat berhadapan dengan Iran.
Pertikaian besar antara Qatar dengan aliansi Saudi-UEA bisa saja terus berlanjut, terlebih kenangan buruk akan krisis yang saat ini terjadi bisa bertahan hingga bertahun-tahun lamanya. Namun, di penghujung hari krisis Qatar-Saudi saat ini kemungkinan besar akan berakhir sama dengan normalisasi kedua negara pada 2015, ketimbang hasil akhir krisis Arab-Iran di akhir tahun 1990 yang berujung dengan konflik terbuka.
Selain risiko berujung Qatar mengasingkan diri, aliansi Saudi-UEA bisa juga melemah karena perbedaan visi keduanya bila menyangkut sistem regional Timur Tengah. Visi Arab Saudi secara garis besar tampak sekterian. Riyadh memandang Iran sebagai ancaman utama untuk stabilitas wilayah dan memandang siapa pun yang pro-Iran Syiah adalah kekuatan antagonis.
Sementara visi UEA bertentangan dengan pendekatan sekterian garis keras Arab Saudi. Di bawah kepemimpinan Pangeran Muhammed Bin Zayed di Abu Dhabi, UAE dengan tegas mendukung kekuatan sekuler di Timur Tengah dan justru memandang kelompok-kelompok Islam Sunni lebih mengancam stabilitas regional ketimbang Iran.
Konflik antara pandangan strategis Arab Saudi dan UEA mulai tampak ketika kedua negara memberikan respons berbeda dalam menghadapi krisis di Suriah dan Yaman.
Di Yaman, kampanye militer Arab Saudi fokus menghadapi ancaman yang dilakukan pemberontak Houthi pada perbatasannya. Militer Saudi juga terus memberikan dukungan pada pemimpin Sunni Yaman yang diasingkan, Presiden Abd-Rabbuh Mansur Hadi, untuk terus mengkonsolidasi kekuatan. Untuk memperkuat posisi Hadi, Arab Saudi merapat dengan Ikhwanul Muslimin cabang Yaman, al-Islah, dan menangkis usaha UEA untuk memberi pengaruh di selatan Yaman.
Sejak perang pecah antara pemberontak Houthi di Yaman dengan koalisi GCC pada Maret 2015, UEA fokus mengembalikan kekuatan penguasa sekuler ke Yaman. Tak seperti Arab Saudi, Abu Dhabi tak peduli dengan afiliasi sekterian pemimpin baru Yaman.
UEA sebelumnya memberi dukungan militer kepada Ali Abdullah Saleh, mantan presiden Yaman yang seorang Syiah moderat, dan kemauannya untuk menggunakan kekuatan melawan milisi al-Islah yang berhubungan dengan Saudi, menggarisbawahi perbedaan tujuan Riyadh dan Abu Dhabi di Yaman.
Perbedaan tujuan Saudi dan Emirat di Suriah tampak kurang mencolok ketimbang di Yaman. Meski, kedua negara memiliki pandangan berbeda soal jawaban perdamaian di Suriah. Terlepas dari kesuksesan militer Assad sejak 2015, Arab Saudi telah menjadi tempat perlindungan bagi kelompok pemberontak Sunni yang menolak berdiplomasi dengan Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Meskipun UEA memberikan dukungan finansial pada faksi-faksi oposisi Suriah, Abu Dhabi diam-diam mengadakan dialog dengan pejabat rezim Assad pada 2012 dan bekerja sama dengan Rusia untuk menyelesaikan konflik Suriah. Kebijakan Qatar ini bertentangan dengan tujuan Saudi dan mempertajam jurang perbedaan antara para pemimpin kedua negara.
Konflik strategis Riyadh-Abu Dhabi ini kemungkinan bisa didamaikan dalam jangka pendek, seiring dengan cukup banyaknya tujuan bersama Saudi dan Emirat untuk tetap menjadi sekutu. Kemungkinan lain, perselisihan ini bisa menjadi ancaman jangka panjang bagi aliansi Riyadh-Abu Dhabi.
Ketekunan perselisihan dalam hubungan bilateral Saudi-UEA menunjukkan bahwa sikap kuat kedua negara terhadap Qatar adalah aliansi yang berdasarkan kenyamanan, yang tidak memiliki fondasi ideologis yang kuat.
Terlepas dari ketegangan yang ada, kerja sama Saudi-UEA memiliki beberapa tujuan spesifik, seperti operasi kontra-terorisme gabungan yang menghabiskan USD130 juta. Juga pembangunan fasilitas perbankan lintas batas yang kemungkinan berlanjut di masa depan.
Namun, bidang kerja sama ini relatif kecil dan tak cukup untuk menggantikan GCC.
Meski komitmen kedua negara dalam aliansi bilateral ini menghasilkan stabilitas Teluk Persia, namun dalam jangka panjang, keselarasan dan kemampuan aliansi untuk eksis secara independen dari GCC masih belum jelas.
Aliansi Saudi-UEA bisa jadi terus menguat selama keduanya memiliki hubungan tegang dengan Qatar, namun tensi laten di antara mereka – termasuk meningkatnya permusuhan antara Riyadh dengan Teheran – akan kembali membangkitkan peran GCC sebagai organisasi keamanan kolektif wilayah Timur Tengah di bulan-bulan mendatang.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.