
Jakarta
Dilaporkan oleh Erric Permana; Ditulis oleh Astudestra Ajeng
JAKARTA
Usianya sudah 47 tahun. Seharusnya wanita ini berada di rumahnya, menikmati masa menjelang tua. Tapi kenyataannya pekan lalu, dia malah berada di Jakarta, setidaknya 1.000 kilometer jauhnya dari Banyuwangi, Jawa Timur, kampung kelahirannya.
Perjalanan Wati – ini bukan nama sebenarnya, dia menghendaki namanya disamarkan – hingga duduk di kursi panjang Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) bersama beberapa wanita bernasib serupa juga tak pendek. Mereka baru saja dipulangkan dari Damaskus, Suriah, dan kepadanya disematkan status baru: korban perdagangan manusia. Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), bila meminjam istilah resmi dari kepolisian.
Kisah bermula ketika Wati mendapatkan tawaran untuk bekerja jadi pembantu rumah tangga di Malaysia dari seorang kawan. Si teman mengiming-imingi Wati gaji sebesar Rp 4,5 juta dan proses berangkat kilat. “Katanya karena saya menggantikan orang [yang sudah mau pulang dari Malaysia], saya tidak perlu tunggu visa lama,” kisahnya.
Wati berangkat dari Banyuwangi ke Malang pada Maret 2016. Setelah itu, ia diantar ke Jakarta untuk membuat paspor. “Di sana [Jakarta] seminggu, lalu dikirim ke Malaysia,” sebut dia. Sesampainya di Malaysia, pekerjaan ternyata belum menanti. Dua hari di negeri jiran, ia kembali ditawari untuk berangkat ke Uni Emirat Arab (UAE), menjadi pembantu rumah tangga di sana. Wati mengiyakan.
Perjalanan panjang Wati baru bermula. Dia lalu diterbangkan menuju Istanbul, Turki, di mana dia singgah selama sebulan lamanya. Wati mengaku dikurung di sebuah apartemen, walau makanan dan minuman selalu tersedia. Di Turki, dia bilang keperluan untuk bekerja di Abu Dhabi, UAE, diuruskan.
Ketika akhirnya naik pesawat, Wati tak pernah menyangka dirinya bukan menuju Abu Dhabi. Alih-alih UAE, dia terbang ke Beirut, Libanon, dan berikutnya ke Damaskus, Suriah. “Sampai di sana, diambil agen,” lanjutnya. Agen tersebut kemudian menyalurkannya kepada sebuah keluarga yang tinggal di Kota Damaskus.
Tinggal di negara yang sedang berkonflik itu, “Setiap hari suara bom terdengar. Pintu rumah sampai bergetar,” kisah Wati. Ketakutannya bertambah-tambah karena majikannya ternyata ringan tangan. “Saya dipukul, ditonjok, kalau dia minta sesuatu dan saya tidak cepat.”
Suatu hari di bulan September 2016, saat matahari belum lagi muncul, Wati kabur dari rumah sang majikan. Dengan sedikit uang yang dimilikinya, ia menempuh empat jam perjalanan dengan taksi menuju KBRI di Kota Damaskus. Sepuluh bulan kemudian, Wati diterbangkan kembali ke Indonesia. Dan di sinilah dia kini, duduk terpuruk di Mabes Polri.
Menuju negara Teluk
Perdagangan manusia atau TPPO bukan masalah yang dihadapi oleh Indonesia saja. Dalam laporan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Global Report on Trafficking in Persons (2016), setidaknya ada 500 jalur berbeda di seluruh dunia yang dipakai untuk menyelundupkan manusia.
Wanita masih menjadi mangsa utama kejahatan transnasional ini (51%), namun angka korban anak-anak menunjukkan tren kenaikan bila dibandingkan sepuluh tahun yang lalu (21%). Jika dulu para wanita dijual untuk seks, kini banyak pula yang diselundupkan sebagai pekerja paksa (forced labour). Mereka yang bekerja dengan paspor dan dokumen ditahan oleh majikan atau agen, masuk dalam kategori ini. Dari data yang ditemukan pada kurun waktu 2012-2014, 4 dari 10 korban dijual untuk menjadi pekerja paksaan.
Riset yang sama juga menunjukkan, suatu negara yang sedang berkonflik ternyata juga menjadi negara tujuan penjualan manusia. Pekerja paksa anak-anak lelaki umumnya direkrut sebagai kombatan oleh kelompok pemberontak di beberapa negara. Sementara, yang wanita diselundupkan untuk dinikahi atau dijadikan budak seks. Penelitian yang diadakan oleh Internasional Organization for Migration (IOM) dan Internasional Centre for Migration Policy Development menyatakan trafficking untuk alasan-alasan di atas beberapa tahun ini meningkat di Irak dan Suriah.
Laporan lain dari UNODC, Migrant Smuggling in Asia (2015) mengatakan, setidaknya ada 9 juta pekerja migran dari Indonesia ke seluruh dunia, banyak di antaranya tak punya dokumen resmi. Malaysia adalah tempat tujuan pertama para penyelundup menjual TKI. Dari kasus Wati, bisa dicurigai bahwa Malaysia juga menjadi negara transit, sebelum korban trafficking disalurkan ke negara-negara lain.
Staf konsulat KBRI Suriah, Abdul Kholik, mengamini laporan ini. Menurutnya, dia banyak sekali menemukan kasus TKI yang ditipu untuk bekerja di Suriah. “Mereka tidak tahu akan dikirim ke Suriah. Biasanya lewat Batam [lalu ke] Johor.”
Negara-negara Teluk memang sudah lama menjadi tujuan TKI ilegal dari Indonesia, terutama Arab Saudi dan UAE. Meski kontrol imigrasi kedua negara tersebut termasuk ketat, para penyelundup masih saja menemukan rute dan metode untuk mengirimkan TKI ilegal ke sana. Metode paling umum dipakai adalah dengan memalsukan dokumen-dokumen perjalanan.
Dokumen palsu sangat penting bila penyelundupan dilakukan dengan pesawat komersial, mode transportasi paling cepat, aman, dan efektif untuk mengirim TKI ilegal. Dalam banyak kasus, penyelundup melakukan kolusi atau menyogok petugas imigrasi, pegawai pemerintah atau maskapai penerbangan, sehingga dokumen palsu bisa lolos pemeriksaan resmi.
Bandara-bandara besar di Abu Dhabi, Bahrain, Doha dan Dubai, sering kali digunakan sebagai titik transit perjalanan TKI ilegal. Perjalanan ke Negara Teluk dari Asia dengan rute lain, menurut UNODC, juga kerap melalui Pakistan menuju ke Republik Islam Iran, lalu menyeberang ke Oman dan UAE dengan kapal.
Namun peraturan pemerintah yang lebih lemah membuat para penyelundup mulai mengirimkan korban TPPO ke Suriah. Laporan Trafficking in Persons tahun 2008 dari Kementerian Dalam Negeri AS menyatakan Suriah telah “menampung” wanita-wanita dari Somalia dan Eropa Timur untuk eksploitasi seksual. Gadis-gadis Rusia, Ukraina, dan Belarus dipaksa bekerja sebagai penari kabaret. Paspor mereka ditahan oleh agen, sehingga mereka tak bisa pulang ke negaranya.
Tenaga kerja wanita dari Indonesia, Sri Lanka, Filipina, Ethiopia, dan Sierra Leone diperkerjakan di Suriah sebagai pembantu, namun kerap terjebak di situasi kerja paksa. Jam kerja panjang, gaji kecil, ancaman, bahkan pemukulan dan pelecehan seksual adalah kasus yang sering ditemui di sana. Keadaan menjadi semakin runyam karena pemerintahan Suriah sendiri tak punya komitmen kuat dalam menghadapi permasalahan human trafficking di negaranya.
Berdasarkan catatan Abdul Kholik, sejak 2012 ada ratusan warga Indonesia yang dipulangkan oleh KBRI Suriah karena terindikasi korban perdagangan orang. Pekan lalu saja, kata Abdul, “Dari Damaskus saya bawa 24 orang, 15 di antaranya korban TPPO.”
Selama masa perang, tambah Abdul, KBRI Suriah sudah memulangkan sekitar 13 ribu orang. 800 di antaranya adalah korban trafficking selama 2012 sampai kini. Mereka umumnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga yang kabur dari rumah majikannya karena berbagai hal: takut akan perang, gaji kecil, atau mengalami siksaan fisik.
Hukum di Indonesia
Kementerian Luar Negeri Indonesia mencatat sejak tahun 2012 hingga awal Agustus 2016, ada 2.032 kasus perdagangan orang melibatkan WNI di luar negeri yang mereka tangani. Angka ini hanya bagian kecil dari keseluruhan jumlah orang Indonesia yang menjadi korban human trafficking.
US Trafficking Victims Protections (TVPA) dalam laporannya pada tahun 2016 mengategorikan Indonesia sebagai negara Level 2, yakni negara-negara yang pemerintahannya belum memenuhi standar minimum yang ditetapkan TVPA soal perlindungan dan penanganan kasus-kasus perdagangan orang, namun dinilai terus melakukan usaha untuk memenuhi standar. TVPA menilai, kemajuan Indonesia dalam menangani kasus sex trafficking cukup menggembirakan, namun negara ini dianggap masih gagap menghadapi permasalahan TKI ilegal ke negara-negara lain.
ASEAN sebenarnya sudah memiliki kesepakatan bersama soal isu perdagangan orang, ASEAN Convention Against Trafficking in Person Especially Women and Children (ACTIP), yang telah ditandatangani oleh para pemimpin ASEAN di KTT ke-27 ASEAN, November 2015. Tapi hingga perayaan ulang tahun ke-50 ASEAN bulan ini, belum semua negara meratifikasi ACTIP. Dari 10 negara ASEAN, enam negara telah menerapkan ACTIP ke dalam hukum negara mereka. Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Laos adalah empat negara yang belum meratifikasi kesepakatan yang dirancang untuk kooperasi dan kolaborasi regional terkait kasus penjualan orang.
Akhir tahun 2016, pemerintah Indonesia menyatakan sedang mempersiapkan proses ratifikasi ACTIP, namun belum ada kabar terbaru lagi soal hal ini.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.