Si Tengah yang terengah-engah
“Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita,” tulis seseorang di laman sosial medianya. BPJS, akronim itu, dia plesetkan sedemikian rupa untuk menggambarkan seseorang yang menghamburkan uang, melebihi apa yang sebenarnya dimilikinya.

Jakarta
Astudestra Ajengrastri
JAKARTA
Frasa lain yang dipakai untuk menggambarkan sosok yang sama adalah “kelas menengah ngehe”. Beberapa tahun lalu, istilah ini ramai dipakai sebagai hashtag di berbagai media sosial. Ngehe, kata makian yang berarti ‘menyebalkan’ atau ‘ mengesalkan’ itu, dipakai untuk menggambarkan kelompok kelas menengah yang bergaya bak orang kaya tetapi uang di kantongnya sebenarnya tak banyak-banyak amat.
Selalu ingin tampil maksimal dengan barang bermerek, tapi cari diskonan. Mengeluh saat subsidi BBM ditarik, namun di saat yang sama tetap pamer foto liburan di sosial media. Konsumtif untuk benda-benda high end, meski harus menggesek kartu kredit.
Kenyataannya, sangat mudah bagi kelas menengah untuk menjadi konsumtif. Keadaan keuangan mereka cukup baik, sehingga membuat mereka merasa boleh mendapatkan benda-benda luxurious yang harganya lebih mahal ketimbang yang biasa mereka gunakan.
Di sisi lain, produsen dan pemilik produk berlomba-lomba menarik perhatian masyarakat kelas menengah. Berbagai penelitian diadakan untuk memahami perilaku masyarakat yang berada dalam kategori middle class ini supaya iklan dan promosi yang mereka pasang tepat sasaran.
Dan dari sinilah pendorong perekonomian negara itu berasal.
Mendefinisikan si Tengah
Tak mudah memang mengidentifikasi siapa yang bisa dimasukkan dalam kelompok sosial-ekonomi kelas menengah di Indonesia. Klasifikasi kelas di masyarakat sendiri adalah definisi yang fluid, karena dibangun dari keadaan sosial dan ekonomi yang terus-menerus berubah sesuai dengan pertumbuhan ekonomi.
Cara paling mudah untuk menafsirkan kelas menengah adalah dengan memberikan batasan-batasan ekonomi.
Bank Dunia mengatakan, mereka yang saban hari mampu menghasilkan USD2 hingga USD13 (Rp26 ribu-Rp169 ribu) masuk dalam kelas ini. Asian Development Bank menggunakan sisi expense. Mereka yang mengeluarkan uang sebesar USD2 sampai USD20 (Rp26 ribu-Rp260 ribu) per hari, sah disebut sebagai masyarakat kelas menengah.
Sementara itu, McKinsey Global Institute menyebut kelas ini dengan nama “consuming class”, yakni mereka yang memiliki disposable income lebih dari USD3600 per tahun, atau USD10 per hari.
Nama boleh berbeda, namun data menunjukkan keberadaan kelompok kelas ini semakin menggemuk saja, mendominasi masyarakat Indonesia.
Saking besarnya kelompok ini, spektrum di dalam kelas ini masih bisa dibagi-bagi lagi berdasarkan karakteristik yang berbeda. Mereka yang berada di spektrum bawah (berpendapatan USD2 sampai USD4 per hari), oleh The Financial Times disebut sebagai Fragile Middle, yaitu kelompok yang hidupnya hanya sedikit berada di atas garis kemiskinan.
Namun lupakan dulu mereka. Kekuatan besar kelas menengah terdapat pada mereka yang berada di segmen tengah dan atas kelompok ini.
Yuswohady dalam bukunya Consumer 3000 (2012), menjabarkan karakteristik kelas menengah sebagai pembeli dan konsumen utama layanan advance seperti gadget, mobil, beragam layanan perbankan, produk investasi, hingga liburan. Mereka adalah para profesional, entrepreneur, ibu rumah tangga, pegawai negeri, dosen, arsitek, atau bankir dengan kemampuan daya beli tinggi.
Secara singkat, kapasitas middle class sebagai pemilik daya beli tinggi adalah faktor yang paling menarik bagi pemilik produk. Tak heran, para marketer berlomba-lomba menyasar mereka sebagai target market.
Boston Consulting Group adalah salah satu yang menyediakan survei perihal kelas menengah yang cukup komprehensif. Pada 2013, mereka merilis BCG Perspectives 2013: The Boston Consulting Group’s Center for Consumer and Consumer Insight (CCCI) yang menjadi patokan para pemasang iklan.
Yang disasar, tentu bukan mereka yang duduk di ujung bawah kelas menengah. BCG bahkan membuat nama baru bagi irisan kelas menengah di bagian atas ini, the middle class and affluent consumer (MAC). Berdasarkan laporan ini, pada 2013 ada sekitar 74 juta MAC di Indonesia. Jumlah ini diperkirakan mengganda menjadi sekitar 141 juta orang di tahun 2020. Selama periode itu, tiap tahun setidaknya 8-9 juta orang masuk ke kelas ini dari segmen di bawahnya.
Bagaimana tidak menggiurkan?
Mendongkrak dengan konsumsi
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, pada 2016 komponen Konsumsi Rumah Tangga (KRT) memberikan kontribusi terbesar terhadap kue Produk Domestik Bruto (PDB), yakni sebesar 56,50%.
Sementara itu, porsi sektor industri terhadap PBD terus menurun. Dari sekitar 27% di tahun 1990-1998, sekarang tinggal 20% saja. Porsi ekspor dan impor juga belum menggembirakan, masih menyumbang PDB sebesar di bawah 40% saja.
“Masyarakat Indonesia terjebak pada consumption class, bukan production class,” kata Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom Institute for Development of Economics & Finance (INDEF).
Porsi industri yang terus merosot ini, kata Bhima, membuat pertumbuhan ekonomi jadi tidak berkualitas. “Ini yang disebut deindustrialisasi dini,” kata dia.
Menggantungkan PDB pada KRT semata jelas berbahaya. Tanpa pertumbuhan di sektor industri, lima tahun ini pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di kisaran 5-6%. “Belum bisa mengejar Tiongkok, bahkan sekarang jauh di bawah India,” tukas Bhima.
Namun itu soal lain.
Saat BPS mengumumkan Indeks Harga Konsumen pada Agustus 2017 mengalami deflasi sebesar 0,07%, isu soal daya beli jadi santer. Kecemasan para ekonom negara semakin menjadi saat data KRT di kuartal ini mendadak merosot.
Menurut data Bank Indonesia, penjualan produk rumah tangga seperti alat elektronik dan furnitur sudah menunjukkan tren menurun lima bulan belakangan, jatuh 8 persen dari periode sama tahun lalu.
Pihak retail konvensional juga mulai berdarah-darah. PT Matahari Putra Prima Tbk, pemilik jaringan retail Matahari, membukukan kerugian Rp170 miliar rupiah di paruh tahun pertama 2017. Departeman store Debenhams dan Lotus, keduanya milik perusahaan retail raksasa PT Mitra Adiperkasa, terpaksa gulung tikar bulan ini.
Media berbondong-bondong memberitakan dengan headline yang dicetak tebal: daya beli masyarakat menurun.
Padahal, menurut survei konsumen yang dilakukan Bank Indonesia pada September 2017, masyarakat masih merasa optimis terhadap kondisi ekonomi sampai enam bulan mendatang. Bahkan pada bulan tersebut, porsi pendapatan responden yang digunakan untuk konsumsi (average propensity to consume ratio) meningkat sebesar 2,6% menjadi 66,4%.
Peningkatan porsi konsumsi ini terjadi pada kelompok responden dengan pengeluaran (disposable income) di atas Rp2 juta per bulan. Aman untuk dikatakan, kelompok kelas menengah tak menunjukkan tanda-tanda mengerem beli-beli barang konsumsi.
Sesuai dengan survei BI, penelitian yang disusun oleh CPS Household Spending Study + 58 FMCG dan disadur oleh Nielsen dalam laporan Indonesia Macroeconomy & FMCG Update (2017), konsumsi yang dikeluarkan oleh kelas menengah naik dengan persentase paling banyak bila dibandingkan dengan dua kelas lainnya.
Konsumsi kelas atas naik 10% dari tahun 2015 ke 2016 (yoy), dan kembali naik 10% di tahun berikutnya; kelas menengah menyumbang kenaikan konsumsi 8% (yoy) dan 12% (yoy); sementara kelas bawah menambah porsi konsumsi dari 4% (yoy) dan pada tahun berikutnya 12% (yoy).
Sayangnya, data juga membuktikan bila kelas menengah hanya menang di konsumsi. Soal menyimpan uang, mereka tak terlalu pandai.
Dalam survei konsumen BI di periode sama, porsi pembayaran cicilan pinjaman terhadap pendapatan (debt service to income ratio) menurun sebesar 0,7% menjadi 14,4%, sementara porsi tabungan terhadap pendapatan (savings to income ratio) menurun sebesar 1,9% menjadi 19,2%.
Data yang hampir serupa dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam Laporan Kegiatan Bank Umum yang juga disadur oleh Nielsen. Produk-produk perbankan, baik tabungan maupun deposito, paling banyak dipakai oleh mereka yang berada di kelas atas. Kelas menengah, dengan kekuatan konsumsinya yang luar biasa itu, ternyata tak punya banyak uang di tabungan.
Di luar tampah gagah, tapi di dalam ia terengah-engah.
Sampai kapan bersandar pada konsumsi?
Kekhawatiran akibat merosotnya nilai KRT ini sepertinya belum akan berhenti berhenti dalam waktu dekat. Generasi milenial yang pada 2030 mengisi bonus demografi Indonesia, rupanya tak terlalu suka belanja.
Seperti yang dijabarkan oleh Bhima, pola konsumsi generasi anak zaman sekarang ini berbeda ketimbang generasi yang lebih tua.
“Mereka lebih banyak jalan-jalan, ketimbang makan. Kalaupun beli makan, carinya yang vegan atau less fat,” sebut Bhima.
Mengikuti Steve Job dan Mark Zuckerberg yang tampil serba minimalis dengan t-shirt berwarna gelap, “Beli baju juga jarang,” imbuh Bhima.
Semua faktor ini bisa jadi akan turut menyumbang penurunan konsumsi di sektor rumah tangga lebih lanjut di masa depan.
Di sisi lain, data BPS yang mengindikasikan belanja rumah tangga menurun juga menyatakan bahwa kelas menengah dan kelas atas mengetatkan ikat pinggang karena memilih untuk menyimpan uang, ketimbang membelanjakannya pada sektor riil seperti mobil atau rumah.
Pertanda ini disambut baik oleh Farah Dini Novita, Personal Financial Advisor dari Jouska Financial. Menurut dia, sudah saatnya kelas menengah lebih menjaga porsi konsumsi sekaligus mempertimbangkan pilihan investasi.
“Mereka harus tahu apa yang mereka lakukan dengan penghasilan mereka saat ini,” kata Dini, menekankan angka kolektif dalam belanja rumah tangga penunjang GDP tak melukai keuangan pribadi mereka.
Kelas menengah akan tetap berbelanja, “Bedanya, mereka melakukan belanja karena sudah mampu, bukan karena maksain.”
Sebagai gantinya, Bhima berujar, Indonesia harus mempersiapkan konsep reformasi industri yang jelas. Sehingga, berangsur-angsur perekonomian negara tak bersandar pada konsumsi rumah tangga semata, namun berganti didorong oleh industri.
Jika kelak itu terjadi, beban yang disangga oleh Si Tengah niscaya tak berat lagi.
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.