Politik

Riwayat panjang gerakan radikal di Indonesia

Gerakan radikal di Indonesia telah subur jauh sebelum Indonesia merdeka.

03.08.2017 - Update : 04.08.2017
 Riwayat panjang gerakan radikal di Indonesia Empat tersangka Daesh dan Taliban di Afghanistan. ( Haroon Sabawoon - Anadolu Agency )

Hayati Nupus

JAKARTA 

Sepanjang Januari-Juni 2017, 161 orang atau 52 keluarga WNI yang dideportasi dari Turki karena hendak bergabung dengan al-Dawla al-Islamiya fi al-Iraq wa al-Sham (Daesh) telah kembali ke Indonesia. Mereka berasal dari 12 provinsi di nusantara.

Berdasarkan data LSM C-SAVE, provinsi dengan pengikut terbanyak adalah Jawa Barat, dengan jumlah 13 keluarga. Disusul Jawa Timur dengan 10 keluarga, Jawa Tengah 8 keluarga, Lampung 5 keluarga, DKI Jakarta dan Banten masing-masing 4 keluarga. Juga Sumatera Barat, Jambi, Kalimantan Barat, Aceh, Batam dan Sumatera Selatan masing-masing 1 keluarga.

Kedua belas provinsi ini memiliki akar sejarah panjang terkait gerakan radikal. Seperti yang dikatakan pengamat terorisme dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, Solahuddin, 4 provinsi teratas itu telah menjadi basis gerakan radikal sejak lama.

Jawa Barat misalnya, sejak Indonesia belum merdeka telah menjadi basis kelompok radikal Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) atau dikenal Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin SM Kartosuwiryo. Begitu pula Jawa Tengah yang kemudian menjadi basis Jamaah Islamiyah dan Ansharut Tauhid.

“Pelaku aksi tindak pidana terorisme tahun 2002 sampai sekarang pelakunya berasal dari 3 wilayah itu. Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Artinya sudah berakar di sana,” katanya kepada Anadolu Agency, Rabu malam.

Darul Islam di Jawa Barat menjadi hulu atas suburnya gerakan radikal di Indonesia. Pada awal kemerdekaan Indonesia, DI/TII berupaya keras untuk menggantikan pancasila sebagai ideologi resmi negara dengan ideologi Islam. Dari Jawa Barat, DI/TII lantas menyebar ke Aceh, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat. Pemerintah Orde Baru menumpas Darul Islam di Jawa Barat pada 1963. Kartosuwiryo dieksekusi mati sementara pengikutnya diikutkan agenda deradikalisasi lewat program transmigrasi.

Justru lewat agenda deradikalisasi itulah ideologi dan gerakan ekstrimis menyebar ke berbagai wilayah. Kelompok ini mulai menghidupkan kembali gerakannya pada 1970an. “Gerakan terus berkembang. Lampung menjadi lebih aktif karena banyak sekali transmigran asal Jawa Barat,” ujar Solah.

Sementara itu, gerakan peminggiran politik Islam yang digencarkan Orde Baru malah memperkuat basis gerakan radikal di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada masa itu, gerakan Islam dilarang berpolitik. Pemerintah Soeharto berkompromi dengan lahirnya renkarnasi partai Islam Masyumi menjadi Partai Muslimin Indonesia. Namun tak rela eks tokoh Masyumi seperti Natsir, Prawoto, bahkan Mohammad Roem yang moderat memimpin partai baru itu.

Saluran politik ditutup, pendukung Masyumi lantas bergabung dengan kelompok subversif seperti DI/TII secara informal. Secara resmi DI/TII sudah tidak ada, namun gerakannya masih hidup.

“Gerakan ini terus menyebar. Banyak aktivis radikal di Jawa Tengah, Jogja, Jawa Timur dan Medan hasil rekrutan simpatisan Masyumi yang kecewa dengan kebijakan politik Orde Baru. Di antaranya Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar,” kata Solah.

Setelah itu gerakan terus berkembang. Mereka mengirim kader ke Afghanistan untuk turut pelatihan militer. “Harapannya setelah kembali dan punya kemampuan militer, mereka akan melakukan aksi di Indonesia,” ujarnya.

Tahun 1992 perpecahan di tubuh Darul Islam terjadi. Kemudian lahirlah Jamaah Islamiyah.

“Gerakan itu subur sebelum reformasi, dan masih berkembang hingga sekarang,” ujar Solah.​

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın