Dunia

Licypriya Kangujam, aktivis muda dari India, serukan aksi konkret hadapi krisis iklim

Dia adalah pendiri the Child Movement yang mengangkat suara anak-anak tentang pencegahan krisis iklim

Maria Elisa Hospita  | 04.03.2020 - Update : 05.03.2020
Licypriya Kangujam, aktivis muda dari India, serukan aksi konkret hadapi krisis iklim Licypriya Kangujam. (The Child Movement - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Burak Bir

ANKARA

Dengan bepergian ke lebih dari 30 negara untuk berkampanye tentang krisis iklim, aktivis muda India memperingatkan orang-orang tentang ancaman krisis iklim jika langkah-langkah yang diperlukan tidak segera diambil. 

Licypriya Kangujam, 8, adalah pelopor "the Child Movement" yang telah menghadiri berbagai konferensi iklim global. 

"Selama 16 tahun terakhir, bahkan jauh sebelum saya lahir, mereka telah gagal. Sekarang mereka masih mengecewakan kita. Para pemimpin perlu mendengarkan opini dari ilmuwan-ilmuwan muda. Mereka harus percaya pada sains dan bertindak sekarang juga sebelum semuanya terlambat," tegas dia. 

Kangujam menekankan bahwa negara-negara terbelakang dan berkembang lebih rentan terhadap perubahan iklim, dan jika dunia gagal mencegah krisis iklim, maka planet Bumi beserta isinya tidak akan punya masa depan. 

Dia menuturkan awal mulanya dia terjun sebagai aktivis lingkungan. 

Menyentuh pada awal perjalanannya ke aktivisme, dia mengatakan bergabung dengan pekerjaan sosial dan merawat masalah lingkungan adalah "dalam darahnya," yang dimulai dengan menemani ayahnya, yang juga seorang aktivis lokal. 

"Pada Juli 2018, ketika saya baru berusia enam tahun, saya mendapat kesempatan menghadiri Konferensi Menteri Asia ke-3 untuk Pengurangan Risiko Bencana 2018 (AMCDRR 2018) di Ulaanbaatar, Mongolia. Saya pertama kali menyampaikan opini saya di hadapan para pemimpin dunia di sana," tutur dia kepada Anadolu Agency. 

Itulah awal mulanya Kangujam terjun sebagai aktivis lingkungan, setelah kerap menemani ayahnya, yang juga seorang aktivis lokal. 

Dia pun menyebut konferensi di Ulaanbaatar sebagai peristiwa yang mengubah hidupnya, yang menginspirasinya untuk mendirikan Gerakan Anak pada 10 Juli 2018. 

Tujuan gerakan tersebut adalah untuk mengangkat suara anak-anak tentang pencegahan krisis iklim. 

"Saya bepergian dari satu tempat ke tempat lain untuk menyampaikan kekhawatiran saya tentang perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana. Sejauh ini, saya telah mengunjungi lebih dari 32 negara. Ketika saya memulai gerakan, saya benar-benar sendirian. Namun, hari ini, saya punya ribuan rekan dan pendukung di seluruh dunia," ungkap Kangujam. 

Kangujam juga menyebut gerakan aktivis Swedia Greta Thunberg sangat menginspirasinya. 

"Saya putus sekolah sejak Februari 2019 karena setiap minggunya saya melakukan aksi protes di depan gedung parlemen," jelas aktivis cilik itu, merujuk pada upayanya meyakinkan pemerintah India untuk mengesahkan undang-undang perubahan iklim. 

'Greta dari India'  

Kerap dijuluki media internasional sebagai "Greta dari India", Kangujam menekankan bahwa hal itu justru akan menghapus identitas dan kisahnya.

"Dia juga seorang aktivis iklim. Saya juga. Tujuan kami pun sama. Jadi saya merasa ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini. Jika tidak, di masa depan, saya mungkin akan kehilangan identitas dan kisah unik saya," kata dia. 

Menurut Kangujam, dia sudah memulai gerakannya sejak Juni 2018, bahkan sebelum Greta memulai kampanyenya. 

Dia menyebut Greta sebagai kawan baiknya dan mereka saling menghormati satu sama lain. 

"Jika Anda memanggil saya 'Greta dari India,' maka Anda tidak sedang menceritakan kisah saya," tegas dia, merujuk pada Konferensi COP25 di Madrid, di mana dia mendapat respons serupa ketika berbicara di hadapan para pemimpin dunia.

"Padahal aktivis India banyak. Aktivis iklim di seluruh dunia juga banyak. Namun, semua dianggap sebagai Greta," ujar Kangujam. 

Kangujam mengungkapkan bahwa media selalu berusaha memecah-belah para aktivis, tetapi mereka tetap harus satu suara. 

Aktivis muda itu mendesak pemerintah di negaranya untuk mengesahkan Undang-Undang Iklim, memasukkan perubahan iklim sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah, dan mengharuskan masing-masing siswa untuk menanam sedikitnya 10 pohon sebagai syarat kelulusan. 

Dia optimistis kebijakan-kebijakan itu dapat direalisasikan di India sehingga India akan "lebih hijau" dalam kurun waktu lima tahun. 

Upayanya pun berbuah positif setelah perubahan iklim menjadi mata pelajaran wajib di negara bagian Rajasthan dan Gujarat mulai tahun ini. 

Berkat kemajuan itu, India menjadi negara kedua setelah Italia, sekaligus yang pertama di Asia, yang memasukkan perubahan iklim ke dalam kurikulum pendidikan. 


Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın