Budaya

Petak 9: Rumah Dewa yang jadi tempat 'cari angin' warga miskin

Kelenteng ini diperkirakan sudah dibangun sejak 500 tahun lalu, menandakan sudah meleburnya masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia

17.07.2017 - Update : 18.07.2017
Petak 9: Rumah Dewa yang jadi tempat 'cari angin' warga miskin JAKARTA, INDONESIA, 14 JULI 2017: Kelenteng Petak Sembilan yang berada di Grogol, Jakarta Barat, baru saja merayakan ulang tahun ke-367. Namun diperkirakan usia sebenarnya sudah 500 tahun. (Megiza - Anadolu Agency)

REgional

Megiza

JAKARTA

Wilayah Jakarta Barat memang selalu menjadi tempat yang tepat untuk menelusuri sejarah etnis Tionghoa di tanah Betawi atau Jakarta. Posisinya yang berbatasan dengan pintu masuk ke Tangerang bisa jadi menjadi alasan banyak bermukimnya warga etnis Tionghoa di Jakarta Barat.

Tangerang memang dikenal sebagai wilayahnya Cina Benteng. Organisasi yang bergerak dalam bidang sejarah, kebudayaan, pendidikan dan pariwisata, Komunitas Historia Indonesia, mencatat bahwa kedatangan orang-orang Tionghoa ke Tangerang berawal pada tahun 1407 Masehi.

Kala itu, rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) yang ingin masuk Jakarta terdampar di muara Sungai Cisadane karena kapal mereka yang rusak dan kehabisan perbekalan. Kerajaan Pajajaran yang saat itu berkuasa disebut melihat sembilan orang gadis cantik di antara rombongan Halung.

Wakil dari Kerajaan Pajajaran pun kemudia menawarkan untuk mempersunting gadis-gadis tersebut dengan kompensasi sebidang tanah. Dari pernikahan inilah cikal bakal Cina Benteng di Tangerang bermula.

Jika di wilayah Jakarta Timur banyak tersebar kampung-kampung di Otista hingga Condet yang dikenal sebagai tempat berdiamnya warga keturunan Arab, maka di bagian Barat Jakarta, kampung-kampung China menyebar dengan lebih banyak.

Paling mudah ditemukan adalah saat menjejakkan kaki di kawasan Glodok, Kecamatan Tamansari. Bangunan-bangunan seperti rumah abu (krematorium), rumah ibadah seperti vihara dan kelenteng, hingga toko-toko makanan dan warung kopi khas China pun banyak terlihat saat menyusuri kawasan ini.

Salah satu tempat yang selalu menarik perhatian warga Jakarta ataupun wisatawan asing yang berkunjung ke Ibu Kota yang ingin mengetahui jejak Tionghoa di Jakarta adalah  kawasan Pecinan Kota Tua, tepatnya di Jalan Pancoran.

Tempat ‘ngaso’ warga

Tepat di pojok Jalan Kemenangan terdapat satu area dengan gerbang-gerbang khas China yang di dalamnya berdiri empat kuil. Keempatnya merupakan tempat berdiam empat Dewa. Vihara Dharma Bakti yang juga dikenal sebagai Kelenteng Jin De Yuan atau Kim Tek Ie merupakan tempat berdiamnya Dewi Kwan Im atau Dewi Kebajikan.

Di sisi depan kelenteng Kim Tek Ie berderet adalah Kelenteng Han Tan Kong rumah Dewa Dagang, Kelenteng Tee Cong Ong yang merupakan kediaman Raja Neraka atau rumah kematian, dan Kelenteng Hui Tek Tjun Ong yang menjadi tempat tinggal Dewa Rezeki.

Lim Thian Hin, salah satu penjaga kelenteng Hui Tek Tjun Ong atau Hui Tek Bio, menyebut bahwa dari keempat kelenteng tersebut, Kelenteng Jin De Yuan atau Kim Tek Ie merupakan kelenteng tertua.

“Kemarin baru ulang tahun ke-367. Tapi sebenarnya kalau dari cerita-cerita, itu kelenteng sudah berusia 500 tahunan,” kata pria berusia 55 tahun yang akrab disapa Koh A Hin itu. Bercerita tentang kelenteng tertua, A Hin mengungkapkan bahwa saat ini Kelenteng Kim Tek Ie sedang direnovasi.

Pasca kebakaran besar yang terjadi pada 2 Maret 2017 itu, kelenteng yang dikelola oleh Yayasan Dharma Bakti tersebut terus berusaha mempercantik diri.  “Sudah dua tahun direnovasi, belum selesai-selesai,” katanya.

Meski sudah lama menjadi tempat ibadah sekaligus kawasan budaya Tionghoa di Jakarta, kompleks kelenteng ini tampak juga dijadikan sebagai tempat para pengemis ataupun kaum miskin mencari rezeki. Di depan Kelenteng Hui Tek Bio hingga ke pintu masuk Kelenteng Kim Tek Ie, pengemis berderet-deret menadah rasa iba pengunjung.

A Hin bercerita, meski sudah dilarang oleh Lurah setempat, pengemis ataupun warga miskin yang bermukim di sekitar kompleks Kelenteng tetap saja kembali mencari makan di tempat ini. Akan tetapi, A Hin menyebut, tidak semua orang yang tampak duduk di pelataran kelenteng adalah pengemis.

“Ada pengemis yang memang cari sedekahan di sini. Tapi banyak juga warga sekitar yang berkumpul di sini cuma karena mereka merasa gerah di dalam rumah. Warga di sini banyak yang rumahnya berdempetan tidak ada ventilasi. Makanya mereka cari angin di sini,” kata A Hin.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın