Kapankah Daesh 2.0 akan muncul?
Pemerintahan anti-Sunni Irak dan segala peraturannya lah yang pertama kali menciptakan Daesh 1.0, penulis adalah analis politik yang berbasis di AS

Regional
WASHINGTON
Opini: Hussein Abdul Hussein
Seorang analis politik yang tinggal di Washington. Dia telah menulis untuk The New York Times, The Washington Post, dan harian Kuwait Al-Rai, dan lain-lain
Seorang Jenderal AS, Stephen Townsend, yang berada di Irak punya saran untuk Baghdad. “Jika kita tak ingin ISIS (Daesh) 2.0 muncul, maka pemerintah Irak harus melakukan sesuatu yang sangat berbeda,” kata dia kepada BBC.
Townsend bilang, pemerintah Irak harus “menjangkau dan melakukan rekonsiliasi dengan populasi Sunni, dan membuat mereka merasa jika pemerintahan di Baghdad mewakili mereka”.
Namun apa yang tampaknya sekadar saran dari Amerika untuk Baghdad ini sesungguhnya adalah celaan yang terang-terangan terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan Irak yang lalu kepada masyarakat Sunni di negara ini.
Jika memang menjangkau dan melakukan rekonsiliasi dengan populasi Sunni yang dibutuhkan untuk mencegah kemunculan terorisme, maka mudah saja bagi seseorang untuk menyimpulkan, adalah kebijakan anti-Sunni yang dibuat oleh pemerintahan Syiah-lah yang menghasilkan Daesh 1.0 pada mulanya.
Di Washington, sudah sejak lama ada pengertian bahwa sikap kaum Syiah di Irak kepada komunitas Sunni merupakan denyut jantung yang membuat terorisme bangkit. Amerika, sayangnya, terlambat menyadari bahwa – selama masa-masa awal peperangannya dengan Irak – nyatanya malah membantu menggoyangkan keseimbangan ini, yang kemudian menguntungkan Syiah.
Luka akibat perang sipil selalu susah disembuhkan. Masa awal penyembuhan luka ini, normalnya, adalah proses panjang membuka lembaran baru dan memperbaiki hubungan antara kedua pihak yang bertikai.
Di Irak yang masyarakatnya beragam secara agama dan etnis, Amerika mencontoh sistem politik dari Lebanon yang dianggap memiliki ragam masyarakat yang sama.
Satu-satunya pengalaman Lebanon yang tak direplika oleh Amerika di Irak pasca-Saddam adalah “pengampunan umum” (atau “general pardon”), yang dikeluarkan oleh pemerintahan Lebanon di 1991, tak lama sebelum perang sipil selama 15 tahun di negara itu berakhir. Pengampunan membuat yang lalu biarlah berlalu, dan meredam sakit hati dan dendam.
Di Irak, alih-alih membuka lebaran baru, Amerika malah memainkan konflik Syiah-Sunni dengan cara menyetujui serangkaian langkah yang menempatkan kaum Sunni Irak di bawah penindasan pemerintah Syiah yang terinspirasi dari Iran.
Dimulai dari de-Baathification, dan diakhiri dengan dibubarkannya suku milisi bentukan Amerika yang dikenal dengan nama Sahwat, Washington bisa dibilang membiarkan kaum Syiah menargetkan para Sunni.
Dan karena setiap aksi menghasilkan reaksi, dan karena kaum Sunni tak punya tempat untuk lari, banyak dari mereka yang kemudian bergabung dengan kelompok seperti al-Qaeda, dan pada akhirnya menghasilkan kelompok teroris, yang sesungguhnya sudah musnah ketika Amerika angkat kaki dari Irak di penghujung 2011.
Sejarah perang Irak belum lagi ditulis. Untuk saat ini, narasi paling umum adalah Amerika menginvasi negara ini pada 2003 dan menciptakan konflik berdarah yang tak juga selesai hingga kini.
Tapi yang sebenar-benarnya terjadi mungkin berbeda.
Gelombang pasukan Amerika, bersama-sama dengan pejuang Sunni yang dipersenjatai, berhasil menurunkan angka kematian masyarakat Irak dari angka tertinggi 13.613 di 2007 menjadi 3.036 pada 2011, sebelum angka tersebut melonjak kembali ke 9.851 pada 2013, menurut Center for Strategic and International Studies (CSIS), kelompok pemikir dari Washington.
Berlawanan dengan pendapat umum, penarikan pasukan AS pada Desember 2011 bukanlah faktor yang paling berpengaruh terhadap kemunduran keamanan di Irak.
Adalah keputusan administrasi Obama untuk memperlakukan pemerintahan Syiah Irak yang dipimpin oleh Perdana Menteri Nouri Maliki sebagai mitra negara yang sejajar, yang artinya Amerika harus melepaskan sekutu Sunni-nya.
Maliki, yang menggunakan hasil minyak Irak untuk mendanai gerakan Syiah Irak, ketakutan bila Syiah pro-Iran menghadangnya di saat dia lengah.
Iran telah memberi lampu hijau kepada sekutunya di Suriah Bashar Assad untuk mengizinkan pengebom bunuh diri beraksi di Irak, sehingga menewaskan ratusan warga Irak dan mengoyak imej Maliki sebagai sosok yang mampu mengembalikan stabilitas negeri.
Demi menebus kekalahan politisnya, dan mengembalikan reputasi sebagai pemimpin Syiah yang kuat, Maliki harus menghancurkan Irak Sunni, baik di jajaran pemerintahan maupun suku milisi yang ditinggalkan oleh Amerika.
Sehari setelah AS hengkang, Maliki mengirim pasukan tank untuk mengepung kediaman Wakil Presiden Tareq al-Hashimi, seorang Sunni, dengan tuduhan terorisme. Maliki juga membubarkan pasukan Sunni, Sahwat, dan memburu para pemimpinnya, kerap kali berdasarkan dakwaan bohong soal terorisme.
Karena al-Qaeda – kekuatan yang dapat melawan kekuasaan Maliki yang tak terkontrol – telah dihancurkan, kaum Sunni Irak mendapati diri mereka terus berlari tanpa bisa menemukan tempat sembunyi.
Banyak mantan kader dari rezim Saddam lalu menggabungkan diri dan membuat kelompok kekerasan, tetapi menggantikan ideologi sekuler Baathist mereka dengan “Islam radikal”, sebuah imaji yang lebih mudah dijual kepada pejuang dan penyandang dana dari luar negeri.
Banyaknya eks-Baathist yang mengambil alih al-Qaeda di Irak, Daesh pecah kongsi dengan al-Qaeda Internasional.
Di Suriah, Daesh terlibat perang berdarah dengan Nusra Front, pecahan al-Qaeda di negara ini. Juga di Suriah, kaum Baathist Irak, yang kini menjelma menjadi para pimpinan Daesh, berhubungan baik dengan jejaring intelijen Assad, sebuah fakta yang menjelaskan mengapa hubungan Assad dan Daesh tidak bermusuhan. Mereka juga punya kepentingan yang sama dalam hal produksi minyak dan gas – di wilayah kekuasaan Daesh – lalu menjualnya kepada rezim Assad.
Ketika sebagian besar negara di dunia memperlakukan Daesh sebagai tangan panjang al-Qaeda, hanya kaum Syiah Irak yang sepertinya menyadari kalau, pada hakekatnya, “Islam radikal” hanyalah kedok dari organisasi Baathist yang oleh dunia dikenal dengan nama Daesh.
Pada nyaris semua pernyataan dan pidato resmi yang diberikan oleh kantor Irak, juga dalam percakapan masyarakat umum Irak, anggota Daesh biasa disebut dengan “Baathist Dawaish” (bentuk plural dari kata tunggal Daesh dalam bahasa Arab).
Cara Daesh memimpin wilayah yang mereka duduki semakin menunjukkan bahwa mereka lebih terinspirasi oleh Saddam ketimbang al-Qaeda.
Sama seperti Saddam, Daesh melarang orang-orang di wilayah kependudukannya untuk bepergian, membatasi piringan satelit, dan memotong tangan siapa pun yang menggunakan mata uang asing selain mata uang resmi mereka, Dinar Islam.
Dan seperti layaknya Saddam, Daesh yang brutal tak punya teman karena kelompok ini memusuhi siapa pun dan apa pun, termasuk menuduh seluruh dunia berkonspirasi melawan negara mereka – negara Arab bagi Saddam dan negara Islam untuk Daesh.
Akhirnya, sama seperti Saddam, Daesh mengundang rangkaian koalisi internasional yang meluncurkan serangan udara ke wilayah teritorial mereka.
Para militan Daesh, bagaimanapun, menunjukkan kecakapan yang lebih maju dalam melawan kekuatan milisi dan pemerintah Irak. Tak seperti pasukan Saddam, yang lebih sering melarikan diri ketika peperangan dimulai.
Arsitek dari rencana Amerika untuk menstabilkan Irak di 2010 dan 2011 kemudian dipanggil kembali setelah kehancuran militer Irak dan Daesh mengambil alih Mosul pada Juni 2014.
Mantan Kepala Staf Jenderal Martin Dempsey, yang pernah menyelinap ke dalam limousine Obama untuk meyakinkan dia akan pentingnya intervensi Amerika untuk menghentikan kemungkinan jatuhnya Baghdad ke tangan Daesh, berkata kepada Kongres – dalam sebuah rapat dengar pendapat – bahwa landasan rencananya untuk menggulingkan Daesh adalah untuk berhubungan kembali dengan suku Sunni Irak. Jika dia gagal, katanya, Amerika akan kembali ke papan gambar.
Di bawah tekanan Iran, pemerintah Irak tidak pernah memberi kesempatan berhubungan kembali dengan suku Sunni ataupun mempersenjatai mereka.
Perdana Menteri Irak Haidar Abadi, yang hubungannya lebih dekat dengan Teheran ketimbang pendahulunya, bersikukuh bahwa bantuan apa pun yang akan ditawarkan kepada kaum Sunni Irak harus melalui pemerintahannya.
Dengan Obama yang merayu Iran untuk kesepakatan nuklir, Washington melepaskan masyarakat Sunni Irak, sementara milisi Syiah pro-Iran memorak-porandakan desa dan kota Sunni, melakukan kekejaman kepada masyarakat sipil, dan bahkan menembaki mausoleum Saddam di Tikrit, mengisyaratkan bahwa perang Irak melawan Daesh sesungguhnya usaha bagi kaum Syiah Irak untuk menyamakan skor dengan Sunni, ketimbang memberantas terorisme.
Setelah kejatuhan Saddam, kaum Syiah Iran dan Irak masuk pusaran dendam Sunni Irak, mengabadikan lingkaran kekerasan yang tua dan jahat dan tak putus-putus.
Babak terbaru dari pembalasan dendam ala Syiah-Sunni ini adalah saat Syiah merebut wilayah teritorial Daesh.
Namun jika sejarah mengajarkan kita soal apa pun, itu adalah kenyataan bahwa dendam tak pernah menyembuhkan luka lama, hanya memperdalam dan membangun jalan untuk kembali menciptakan lingkaran kekerasan di masa depan.
Itulah mengapa Townsend mengundang kaum Syiah Irak untuk melakukan aksi berbeda terhadap kaum Sunni. Persoalan Syiah mau menerima nasihatnya adalah pertanyaan yang belum terjawab.
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Anadolu Agency
Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.