Nasional

Sungai Citarum: Kolam adu ego pemerintah pusat dan provinsi

Sebagai sungai strategis nasional, Sungai Citarum menggiurkan untuk diperebutkan oleh pemangku kepentingan di daerah maupun nasional. Tiga program pembersihan Citarum pernah dibuat oleh pemerintahan lampau, semuanya gagal

Megiza Soeharto Asmail  | 23.03.2018 - Update : 24.03.2018
Sungai Citarum: Kolam adu ego pemerintah pusat dan provinsi Aliran sungai Cikijing berwarna hitam akibat dialiri limbah tekstil (kiri) dan Sungai Citarum yang belum terkena limbah di kampung Rancalongong, Solokan Jeruk, Bandung, Jawa Barat, Indonesia, pada tanggal 16 Maret 2018. Limbah yang dialiri ke sungai Cikijing, Citarik tersebut merupakan limbah tekstil yang berasal dari industri di wilayah Rancaekek, Bandung, Jawa Barat, Indonesia. (Eko Siswono Toyudhon - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Megiza Asmail

MAJALAYA, Jawa Barat

Tepat satu bulan lalu Presiden Joko Widodo mendeklarasikan target pemerintah untuk membersihkan Sungai Citarum yang tercemar dalam kurun waktu tujuh tahun ke depan.

Kembali digadang-gadang sebagai sungai paling tercemar di dunia setelah dua warga Prancis yang bekerja sebagai aktivis lingkungan mempublikasikan video gulungan arus sampah di Citarum pada akhir tahun lalu, pemerintah Indonesia seakan langsung tergopoh-gopoh unjuk aksi.

Sebuah program yang disebut dengan Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum dan dimulai di Kilometer nol Citarum, Situ Cisanti, Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, menjadi gong pembuka agenda pemerintah bernama Citarum Harum.

“Ini pekerjaaan besar, tidak mungkin dikerjakan satu atau dua hari, sebulan dua bulan. Kita akan selesaikan dalam waktu tujuh tahun,” kata Presiden Jokowi – sapaan akrab Joko Widodo – di Situ Cisanti, saat itu.

Proses revitalisasi di Situ Cisanti yang merupakan tempat tujuh mata air sumber Sungai Citarum dimulai dengan penanaman pohon oleh sang presiden didampingi menteri-menteri terkait.

Anggaran sebesar Rp78 miliar juga disiapkan untuk memperbaiki hulu sungai yang mencukupi 80 persen kebutuhan air baku warga Jakarta itu.

Bagi warga Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, gembar-gembor program pemerintah untuk mengatasi masalah Sungai Citarum sudah terlalu banyak. Hampir tiap-tiap musim pemilihan kepala daerah hingga pemilihan presiden, sungai sepanjang 297 kilometer ini bak dijadikan senjata para politisi saat kampanye.

Koordinator Komunitas Elingan, organisasi advokasi dan edukasi lingkungan di wilayah Majalaya, Deni Riswandini (47) yang lahir dan besar di tanah Pasundan itu menyebut sudah hampir dua dekade Sungai Citarum digunakan untuk ring adu ego pemerintah pusat dan provinsi.

Sebelum pemerintahan Jokowi mengaum-aumkan Citarum Harum, setidaknya ada tiga program besar yang sebelumnya dibuat pemerintahan lampau.

Citarum Bergetar -- akronim dari Bersih Geulis dan Lestari -- dijual sebagai rencana masa depan warga Jawa Barat oleh Pemerintah Provinsi. Kala itu, Mayjen TNI (Purn.) Raden Nana Nuriana duduk sebagai pemangku kepentingan alias Gubernur Jawa Barat.

Delapan tahun mangkrak, tidak ada perubahan, dan limbah terus ditumpahkan oleh pabrik-pabrik tak bertanggung jawab serta perilaku anti-bersih warga yang kian mewabah membuat pemerintah pusat menyalip program Pemprov Jawa Barat tersebut.

Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program atau ICWRMIP jadi program era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2008.

“Karena Citarum Bergetar dianggap gagal, masuk tahun 2008 ICWRMIP dibuat oleh pemerintah pusat. Saat itu jangka waktu program sampai 2023,” kata Deni saat berbicara dengan Anadolu Agency.

Dalam catatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pemerintah Indonesia kala itu bekerja sama dengan Asian Development Bank (ADB) serta para pemangku kepentingan (akademisi, LSM, kalangan usaha dan masyarakat) demi membuat program pemulihan ICWRMIP atau Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu di Wilayah Sungai Citarum.

Dengan dana utang dari ADB sebesar Rp16 triliun, ICWRMIP direncanakan berlangsung hingga 30 tahun dan dibagi dalam dua tahap, masing-masing 15 tahun. Rp9,1 triliun telah dikucurkan untuk tahap pertama.

“Nah, ketika program itu belum selesai, Pemerintah Provinsi pada tahun 2013 bikin lagi program bernama Citarum Bestari. Di situ disebut targetnya pada tahun 2018 air Citarum bisa bersih dan bisa diminum. Ternyata masuk tahun 2018, program itu gagal. Citarum pun sudah semakin hancur,” sebut Deni.

Berbagai penelitian menyebut kondisi Sungai Citarum kini semakin mengenaskan. Harapan dapat menikmati air Citarum cuma jadi mimpi, seiringan dengan utang negara yang kian membumbung tinggi.

Terakhir, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyebut ada tawaran pinjaman dari luar negeri sebesar Rp200 triliun untuk penataan Citarum. Namun, pemerintah masih dalam posisi mempertimbangkan.

Dari sisi lembaga swadaya masyarakat, Deni menilai, program mempercantik Sungai Citarum sebenarnya tidak perlu didanai oleh bantuan luar negeri. Ada tiga alasan yang membuat pemerintah sebenarnya dapat berdiri dengan kaki sendiri untuk membenahi sungai ini.

“Pertama, energi listrik yang dihasilkan oleh Citarum itu mencapai 1400 Megawatt untuk menerangi Jawa dan Bali. Kemana larinya uang itu? Kenapa tidak untuk memperbaiki Citarum?” kata dia.

Kemudian, penggunaan air Citarum untuk mencukupi 80 persen kebutuhan air baku warga Jakarta juga seharusnya memiliki kompensasi untuk pembenahan Sungai Citarum.

Sedangkan yang ketiga, dana perbaikan sungai sebenarnya dapat diambil dari hasil 420 ribu hektar lahan pertanian yang dialiri oleh Citarum. “Persoalan Citarum itu semestinya tidak perlu didanai oleh bantuan luar. Citarum itu sudah kaya,” tukas Deni.

Dia pun mengingatkan, penyebutan Citarum sebagai Sungai Strategis Nasional dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai seharusnya diingat oleh pemerintah saat ini.

“Dan seharusnya, ketika Keppres itu dikeluarkan, presiden dengan serta merta turun langsung. Tapi ketika ICWRMIP dikelola, [Presiden] SBY tidak turun tangan. Nah, yang kali ini Pak Jokowi terlambat, dan masuk di masa-masa era kampanye,” tutur dia.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.