Kehidupan sulit mantan teroris
Stigma negatif membuat mantan teroris sulit memperoleh pekerjaan

Jakarta
Erric Permana
JAKARTA
Mantan narapidana terorisme sering mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Dampaknya, tak mudah bagi mereka memperoleh pekerjaan. Seperti yang dialami Sumarno, keponakan Amrozi yang berperan sebagai pemasok senjata untuk para teroris pada 2002 lalu. Ia sulit mendapatkan pekerjaan setelah menjalani hukuman 2,5 tahun penjara.
"Kami sering kali terbentur status saat mencari pekerjaan. Akhirnya kami mencoba menciptakan lapangan kerja baru. Seperti membuka bengkel servis motor," ujarnya seperti dipetik dari keterangan pers Kementerian Sosial, Minggu.
Setelah tertangkap dan dipidana, ujar Sumarno, seluruh teman di jaringan teroris menjauh dan memutuskan hubungan. Pada saat itu ia mendapat bimbingan dan bantuan dari pihak lain.
"Di penjara maupun setelah keluar, banyak yang membesarkan hati saya. Saya merasa momentum itu menjadi titik balik dari apa yang saya jalani sebelumnya. Saya mendapat pertolongan dari pihak yang tidak disangka-sangka," tambahnya.
Tidak hanya mantan narapidana, keluarga narapidana terorisme pun mengalami nasib sama. Zulia Mahendra, putra terpidana mati terorisme Bom Bali Amrozi, salah satunya.
"Lulus sekolah saya akhirnya jualan fried chicken kecil-kecilan karena putus asa tidak ada yang menerima lamaran kerja saya. Jangankan membuka suratnya, tahu siapa keluarga saya saja lamaran langsung ditolak," tuturnya dengan mata berkaca-kaca dan nada suara semakin lirih.
Selama 10 tahun Zulia meninggalkan Indonesia lantaran dendam karena ayahnya dieksekusi. Ia pergi ke Brunei Darussalam, Malaysia, hingga Thailand. Namun akhirnya ia kembali ke Indonesia.
Atas bimbingan dari sang paman, ia mulai berusaha dari nol. Ia mendirikan perusahaan di bidang kontraktor. Perlahan, kecintaannya pada bangsa Indonesia tumbuh kembali.
Puncaknya pada Upacara Bendera HUT RI ke-72 yang diselenggarakan Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP), Zul dan teman-temannya didaulat menjadi pasukan pengibar bendera. Polres Lamongan yang memberikan pelatihan itu.
"Saat saya mengibarkan bendera dan semua orang hormat kepada sang merah putih, saya terharu. Kaki rasanya kaku, perasaan hati campur aduk. Sudah 10 tahun lamanya saya tidak pernah upacara, tidak pernah hormat bendera, maupun menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sungguh ini pengalaman luar biasa," tuturnya.
Banyaknya stigma yang didapat mantan narapidana terorisme dan kombatan, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa meminta semua pihak untuk tidak lagi memberi stigma eks-narapidana terorisme. Ini disampaikan Khofifah setelah mengunjungi eks narapidana teroris dan kombatan di Lamongan, Jawa Timur.
"Jangan menytigma mereka. Biarkan mereka bekerja dan bermasyarakat dengan baik, anak-anak mereka bisa sekolah dengan baik. Mereka punya hak yang sama seperti warga negara Indonesia yang lain," ujar Khofifah melalui keterangan tertulis.
Khofifah juga berjanji akan memberi pendampingan bagi mantan narapidana terorisme beserta keluarganya. Ini dilakukan untuk mengembalikan rasa percaya diri dan memberi dukungan untuk kembali ke lingkungan masing-masing.
"Kemterian Sosial (Kemensos) juga akan melakukan pendampingan dari sisi psiko-sosial. Di Kemensos kita punya program dan konselor senior untuk memberikan Layanan Dukungan Psiko-sosial," tegasnya.
Khofifah juga mendorong agar para istri mantan narapidana terorisme untuk membuka usaha berdasarkan keterampilan masing-masing.
"Silakan ditentukan formatnya seperti apa. Ibu-ibu bisa menjahit, membuka usaha bikin kue atau usaha keterampilan lainnya. Kemensos ada program pendukungnya yakni melalui Usaha Ekonomi Produktif dan Kelompok Usaha Bersama," kata Menteri Khofifah.