Budaya, Nasional

Menerka tradisi perantau kembali ke kampung halaman

Di musim mudik Idul Fitri, perantau rela mengeluarkan ongkos berlipat dan menempuh perjalanan panjang penuh kemacetan serta risiko demi kembali ke identitas asal

Hayati Nupus  | 10.06.2018 - Update : 11.06.2018
Menerka tradisi perantau kembali ke kampung halaman Ratusan calon penumpang kereta api mulai memadati stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, Indonesia pada Kamis 08 Juni 2018. ( Eko Siswono Toyudho - Anadolu Agency )

Jakarta Raya

Hayati Nupus

JAKARTA

Bagi Rezki Alvionitasari, 27 tahun, mudik lebaran tak sekadar kembalinya fisik ke kampung halaman. Bagi perantau seperti dia, mudik adalah ajang bersatunya kembali tulang belulang keluarga yang sekian lama terpisah dan direkatkan kembali oleh momentum Idul Fitri.

“Itu yang menjadikan mudik lebaran amat istimewa, bisa bersatu kembali, berkumpul setelah sekian lama terpisah,” ujar Rezki, Jumat, kepada Anadolu Agency.

Terlebih, sejak merantau di Jakarta pada 2015, ini akan menjadi lebaran pertama Rezki dapat berkumpul kembali bersama keluarga. Sebagai jurnalis di salah satu media di Indonesia yang tak mengenal hari libur, di tahun-tahun sebelumnya Rezki selalu kejatahan piket lebaran. Sebelumnya perempuan ini baru bisa kembali ke kampung halaman setelah kakaknya yang merantau di Kendari dan keluarga besar lainnya telah kembali ke rumah masing-masing.

Sepekan lalu Rezki telah memperoleh tiket pesawat, dengan harga dua kali lipat dari biasanya. Dia baru bisa berburu tiket selepas memperoleh kejelasan jadwal piket kantor.

Sesuai jadwal yang tertera di tiket, Minggu esok Rezki akan terbang dari ke Makassar selama dua jam. Berlanjut perjalanan darat ke Kabupaten Wajo selama lima jam.

Perjalanan yang panjang, namun Rezki mengaku ikhlas saja. Dia sudah kepalang rindu pada ibu dan keponakan-keponakannya, terlebih atmosfir keramaian ramadan di kampung yang berbeda dengan di Jakarta.

Di kampung, sepanjang sore hingga sahur, masjid-masjid ramai oleh suara mengaji, lagu Islami, celoteh bocah-bocah saat shalat tarawih, sekaligus suara remaja-remaja pembangun sahur.

Rezki juga telah menyiapkan setumpuk oleh-oleh yang sudah dibeli jauh-jauh hari. Baju lebaran untuk orang tua, jilbab serta peci untuk para keponakan.

Sederet jadwal berbuka puasa bersama dengan teman-teman sekolahnya dulu juga telah menunggu. Selepas sekolah dulu, mereka terpencar oleh perantauan dan kembali saat lebaran.

Apapun yang terjadi Rezki telah berkomitmen harus mudik lebaran tahun ini. Rezki berharap perjalanan mudiknya nanti lancar. “Jika batal saya pasti kecewa,” kata dia.

Tradisi mudik di Indonesia

Di Indonesia, mudik sudah menjadi tradisi. Menjelang Idul Fitri, masyarakat perantau di perkotaan berbondong-bondong pulang kembali ke kampung halaman.

Sejarawan JJ Rizal mengatakan, dalam tradisi Betawi Melayu, mudik adalah perjalanan ke arah selatan, seiring muasal aliran besar Sungai Ciliwung yang dari hulu atau udik. Seturut eksodus penduduk pada waktu itu yang mengarah ke selatan, sesuai asal pekerja, pembantu atau warga kampung yang menyebut Batavia sebagai kota.

“Dari kapan tradisi itu mulai ada, tidak ada data yang pasti. Tetapi terkait mulanya orang-orang yang menjadi jongos dan babu harus pulang ke udik atau kampung,” tegas Rizal, lagi.

Pada masa Hindia-Belanda, kata Rizal, penggunaan kata udik juga merujuk pada perpindahan dari kota benteng Batavia akibat penyakit dan membuat penduduk harus beralih dari utara ke selatan.

Jika dalam istilah Betawi Melayu mudik berarti kembali ke udik, maka dalam tradisi Jawa, mudik berarti munduh ditilik.

“Itu hanya masalah utak-atik kata, tapi istilah mudik itu lahir dari konsep pertumbuhan kota ketika ada urbanisasi,” ujar Rizal.

Terkait mudik yang menjadi tradisi perantau kembali ke kampung halaman saat Idul Fitri, kata JJ Rizal, mudik dapat berarti mengingat asal.

“Mengingat leluhur, artinya mengingat identitas asal kita. Nah, dalam Islam identitas asal kita itu kan artinya fitrah, fitrah manusia kan baik. Otomatis mudik harus menjadi pelajaran bagaimana kita menjadi manusia yang lebih baik,” tutur Rizal, panjang lebar.

Tak heran bila di musim mudik, perantau rela mengeluarkan ongkos berlipat dan menempuh perjalanan panjang penuh kemacetan serta risiko demi kembali ke identitas asal.

Seiring kian gencarnya urbanisasi, kata Rizal, istilah mudik tak melulu digunakan untuk menujukan pulang ke selatan, namun bisa berarti ke mana saja. Ke utara, barat, atau timur.

“Apalagi perantau di Jakarta datang dari mana-mana, mereka bisa kembali ke udik yang di mana saja,” ujar Rizal.

Pun, mudik yang mulanya hanya menjadi urusan sekelompok kecil jongos dan babu, kini telah menjadi urusan nasional. Menjelang musim mudik, pemerintah rutin mempersiapkan akses transportasi dan keamanan.

“Ini menjadi sangat serius karena menyadarkan kita bahwa dalam perjalanan sejarah kita menemukan ada persoalan kesenjangan dan keterpusatan ekonomi yang mengerikan, semengerikan tol Brebet Exit 2016,” ujar Rizal.

Meski mudik lebaran telah menjadi tradisi di Indonesia, namun, kata Rizal, eksodus besar-besaran ini telah dikenal banyak bangsa. Di antaranya dengan mudiknya warga Amerika saat perayaan Thanksgiving day dan warga Tionghoa saat tahun baru Imlek.

Di Indonesia, angka pemudik terus meningkat tiap tahun. Kementerian Perhubungan memprediksi jumlah pemudik tahun ini mencapai 19,5 juta orang. Meningkat ketimbang 2015 lalu yang hanya 18 juta, pada 2016 sebanyak 18,6 juta dan 2017 sebanyak 19 juta. 


Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın