OPINI - Reformasi prematur di Indonesia
Dalam Rule of Law Index yang dirilis World Justice Project, Indonesia menduduki peringkat ke-52 dari 102 negara bagian dan di bawah Singapura, Malaysia, dan Filipina karena rendahnya tingkat integritas dan etika yang buruk pada sistem peradilan

Jakarta Raya
*Penulis adalah dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
JAKARTA
Bergulirnya reformasi politik di tahun 1998 setelah runtuhnya Orde Baru di Indonesia adalah sebuah perubahan politik yang prematur: tidak menuju ke arah perbaikan, malah cenderung kembali kepada totalitarianisme.
Tiga dekade pemerintahan otoriter di Indonesia tiba-tiba berakhir pada tahun 1998. Runtuhnya rezim Soeharto diiringi dengan kemerosotan ekonomi yang masif, kerusuhan yang meluas, konflik komunal, dan ketakutan bahwa bangsa ini akan mendekati ambang disintegrasi.
Meski jatuhnya Soeharto membuka jalan menuju demokratisasi, kondisi saat itu sama sekali tidak mendukung reformasi politik.
Harold Crouch (2010) menjelaskan reformasi politik dapat berjalan meskipun dalam keadaan yang tidak menjanjikan.
Mulai dari reformasi pemilu dan konstitusi, desentralisasi rezim yang sangat tersentralisasi, penarikan bertahap militer dari keterlibatan politik yang dalam namun menempatkan beberapa punggawa purnawirawan sebagai god-fathers dalam administrasi kekuasaan, peluncuran kampanye anti-korupsi, dan pencapaian perdamaian di dua provinsi (Papua dan Aceh) yang telah hancur oleh kekerasan komunal dan pemberontakan regional.
Reformasi berarti perbaikan atau amandemen apa yang salah, korup, tidak memuaskan, dan lain-lain. Reformasi umumnya dianggap antitesis terhadap revolusi (Mona Harrington, The Dream of Deliverance in American Politics, New York: A.A. Knopf, 1986, h. 308).
Namun yang terjadi Indonesia sejak 1998 hingga sekarang adalah kebalikannya atau kemunduran yang kemudian melegitimasi pilihan-pilihan politik yang keliru yang kemudian dilembagakan dalam sistem rule by law yang bertentangan dengan rule of law.
Reformasi Indonesia seharusnya dimulai dengan reformasi konstitusi yang menyeluruh dan nomokratis. Dalam Rule of Law Index yang dirilis oleh World Justice Project, Indonesia menduduki peringkat ke-52 di antara 102 negara bagian dan di bawah Singapura, Malaysia, dan Filipina karena rendahnya tingkat integritas dan etika yang buruk dalam sistem peradilannya.
Tentang perubahan yang lebih radikal atau revolusioner, termasuk batasan masa jabatan, menurut Robert Struble Jr., dalam Treatise on Twelve Lights: To Restore America the Beautiful under God and the Written Constitution, edisi 2007 dimana perdebatan tentang masa jabatan empat atau lima tahun dan hanya boleh sekali dijabat adalah isu reformasi yang paling penting yang paling sulit diagendakan dalam semua gerakan reformasi yang pernah ada.
Bahkan reformasi kemudian menjadikan masa jabatan hingga tiga kali atau bahkan ada yang seumur hidup seperti di China, benar-benar menunjukkan kemunduran dan keterbelakangan dari evolusi politik yang terbalik.
Reformasi Indonesia telah menghadirkan sebuah sistem pemilu yang sangat liberal namun terjerembab dalam demokrasi yang oligarkis dimana negara ditunggangi oleh para demagog dan petualang partai politik serta kapitalis dan kaum neoliberal. Rancangan sistem pemilu yang dinahkodai oleh Prof Nazaruddin Sjamsuddin, dibantu oleh Chusnul Mar’iyah dan Valina Singka telah membawa Indonesia sukses memasuki aras baru demokrasi liberal yang sangat luar biasa.
Namun, sebagaimana sering dikatakan oleh Samuel Huntington, bahwa Ilmuwan politik ingin berbuat baik. Mereka ingin memperluas pengetahuan tentang kehidupan politik, tetapi juga ingin menggunakan pengetahuan untuk reformasi politik. Biasanya ini berarti ingin mempromosikan "demokratisasi".
Secara historis, demokrasi dan ilmu politik cenderung berkembang bersama. Secara sederhana ilmu politik dapat berkontribusi pada munculnya demokrasi. Reformasi politik berhasil paling baik jika terjadi secara bertahap, dalam semangat "satu jiwa pada satu waktu." (Samuel P. Huntington, 1988, "One soul at a time: political science and political reform." The American Political Science Review, h.3).
Anak-anak dari lima dari enam presiden pertama Indonesia mengikuti orang tua mereka ke dalam politik, mencerminkan kekuatan dinasti yang merembes ke sebagian besar Asia. Presiden ketujuh Indonesia, Joko Widodo, ditakdirkan tampil beda. Tetapi masuknya keluarganya ke dalam politik — dan kekuatan dinasti Indonesia yang tak henti-hentinya— menunjukkan prematurnya reformasi Indonesia.
Memilih keturunan dari keluarga terkenal adalah cara mudah untuk menarik perhatian pemilih ketika partai memiliki sedikit kandidat untuk ditawarkan.
Mahalnya biaya untuk mencalonkan diri, mulai dari pengeluaran kampanye yang sah hingga distribusi barang-barang kebutuhan pokok secara luas dan, terkadang, uang tunai dalam upaya untuk "membeli" pemilih, juga menguntungkan kandidat dengan sumber pendanaan dan koneksi yang ada.
Para pemilih Indonesia dibuat frustrasi dengan dominasi dinasti, dengan survei baru-baru ini menunjukkan bahwa 61% tidak menyukai praktik tersebut (Ben Bland, 2020).
Harapan publik terhadap Jokowi sangat tinggi, setidaknya sebagaimana ditunjukkan secara fanatik oleh para pendukung dan penggemarnya.
Ketika dia naik ke tampuk kekuasaan di panggung nasional pada tahun 2014, para penggemar mengharapkan diakhirinya korupsi endemik negara Asia Tenggara itu dan dorongan baru untuk reformasi ekonomi yang sangat dibutuhkan.
Hasilnya sejauh ini mengecewakan, seperti yang digambarkan oleh Ben Bland (2020), dalam “Man of Contradictions”, biografi politik berbahasa Inggris pertama dari pemimpin yang sedang menjabat.
Jokowi adalah pria yang dikagumi karena reputasinya yang bersih, namun di sisi lain dinilai melemahkan badan anti-korupsi, seorang pria yang tidak memiliki visi besar untuk ekonomi dan yang membuat keputusan penting dengan keputusannya sendiri di luar mainstream.
Dia menggali nepotisme tetapi berakhir dengan dinasti politiknya sendiri yang baru mekar dan semerbak. Dia memutuskan sekutu dekatnya, Ahok, seorang etnis Tionghoa dan Kristen yang taat, untuk menenangkan Muslim garis keras di negara yang biasanya dianggap sebagai mercusuar pluralisme di dunia Muslim.
Dan dia dipersepsikan telah mengerahkan polisi untuk menargetkan para pengkritiknya dengan dasar yang semakin sistematis.
Pandemi Covid-19 telah memberikan celah dalam kepemimpinan presiden Jokowi, membuatnya semakin sulit untuk fokus pada tujuan kepresidenannya, yang sebelumnya diharapkan melanjutkan agenda-agenda reformasi.
Indonesia telah mengalami krisis kesehatan yang juga telah menghapus kemajuan negara ini dalam mengurangi dan memberantas tingkat kemiskinan selama lebih dari satu dekade.
Presiden Jokowi masih memiliki kekuasaan empat tahun lagi dan tidak dapat mencalonkan diri kembali sesuai dengan konstitusi Indonesia saat ini yang membatas dua kali masa jabatan.
Masa empat tahun masih menyisakan banyak modal politik untuk dihabiskan memperbaiki ‘kerusakan’ yang masih ada, atau pun menambahkan daftar kegagalannya.***