Budaya, Analisis

Jakarta semrawut, benarkah motor yang bikin kusut?

Motor dianggap sebagai biangnya kemacetan Ibu Kota. Tapi, betulkah?

Megiza Asmail  | 16.08.2017 - Update : 20.08.2017
Jakarta semrawut, benarkah motor yang bikin kusut?

Jakarta

Megiza Asmail, Astudestra Ajeng

JAKARTA

Angga Yuniar, 30, adalah warga Cileduk, Tangerang, yang bekerja di kawasan Senayan, Jakarta Selatan. Saban pagi dia harus mengarungi 17 kilometer untuk mencapai kantor, dan berjibaku dengan jarak yang sama untuk balik ke rumah di malam harinya.

Angga mengaku tak tergiur untuk menggunakan transportasi umum meski menawarkan kenyamanan. Dia lebih memilih menghabiskan puluhan menit di atas sepeda motornya, dibanding menumpang angkutan umum. 

“Meski sudah ada TransJakarta, dari rumah saya ke kantor itu harus empat kali naik angkutan. Jadi lebih baik saya kena macet di atas motor satu jam lebih daripada capek-capek harus naik-turun angkutan,” kata dia.

Angga bukan satu-satunya. Alasan enggan memilih angkutan umum sebagai transportasi inilah, sebut Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Andri Yansah, sebagai kemacetan yang tidak akan pernah hilang dari wajah Ibu Kota. Walau berbagai cara telah dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI untuk mengurai kemacetan.

Terbaru, pemerintah mewacanakan untuk menambah jalur pelarangan sepeda motor. Setelah dilarang melintas di Jalan MH Thamrin hingga Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, sepeda motor kelak tidak dapat lagi melintas di Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan HR Rasuna Said. 

“Warga malas untuk menggunakan angkutan umum. Padahal, kami sudah berusaha untuk mengoperasikan angkutan-angkutan yang bisa memberikan kenyamanan warga pengguna angkutan,” kata Andri kepada Anadolu Agency.

Berebut ruas dengan motor

Deretan sepeda motor yang berjubel berebut ruas jalan dengan mobil menjadi pemandangan yang umum terlihat setiap Senin hingga Jumat di Jakarta. Sebagai pusat bisnis dan perekonomian, Ibu Kota Indonesia setiap paginya disesaki oleh kendaraan-kendaraan yang menuju kawasan perkantoran ataupun industri. 

Bukan hanya kendaraan milik warga Jakarta saja, namun ratusan ribu warga yang berasal dari kota-kota satelit seperti Depok dan Bekasi juga menyerbu masuk ke Ibu Kota saban hari. Belum lagi para pekerja yang berangkat dari kota tetangga seperti Tangerang dan Bogor. 

Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya merilis data yang menunjukkan bahwa penggunaan sepeda motor di Jakarta terus meningkat setiap tahun. Pada 2011, ada nyaris 10 juta motor yang berseliweran di Jakarta. Bandingkan dengan jumlah mobil (2,5 juta) dan bis kota (363 ribu).

Laporan Jabodetabek Urban Transportation Polici Integration (JUPTI, 2010) juga mengindikasikan adanya peningkatan signifikan soal kepemilikan motor. Pada 2002, satu dari tiga rumah di Jakarta memiliki motor. Namun pada 2010, mayoritas keluarga di Jakarta memiliki dua buah motor. Kenaikan ini, sebut laporan JUPTI, mencapai 70 persen.

Jika dibandingkan dengan moda transportasi lain pada 2010, motor menguasai 63 persen jalanan Jakarta. Sementara mobil pribadi sebanyak 17 persen, dan bus kota sebesar 17 persen.

Uniknya, meski mobil pribadi kalah jumlah, namun soal efisiensi ruang di jalan raya, motor justru lebih jaya.

Yoga Adiwinarto dari Institute for Transportation & Development Policy (ITDP) memberikan gambaran. Transportasi umum berbentuk bus, seperti TransJakarta, merupakan moda yang paling efisien soal ruang. Dengan ukuran panjang 12 meter dan lebar 2 meter, sebuah bus TransJakarta bisa mengangkut sekitar 80 orang penumpang.

“Besar ruang yang sama, bila digantikan oleh motor, bisa menampung sekitar 10 motor. Kalau tiap motor mengangkut dua penumpang, ada 20 orang yang memakai jalan,” sebut dia. Mobil, kata dia, bila diletakkan di besaran ruang yang sama paling-paling hanya muat 2 atau 3. Ruang yang ada menjadi sangat tidak efisien bila setiap mobil hanya memuat 1 atau 2 orang, layaknya pengguna mobil Jakarta kebanyakan.

Motor dianggap sebagai pengganggu di jalan, Yoga menganalisis, karena pengendaranya harus berebut jalan dengan moda transportasi besar, seperti mobil, bus kota, dan metromini. “Tidak ada pemisahan yang pasti, bahkan di jalur lambat yang seharusnya dipakai motor, pada kenyataannya tetap ada metromini dan mobil,” katanya.

Penggabungan inilah yang menurut Yoga membuat angka kecelakaan sepeda motor tinggi. “Muncullah permasalahan safety. Tapi perlu dilihat lagi, tingkat kecelakaan tinggi di sini adalah yang melibatkan motor dengan kendaraan besar. Kalau motor dengan motor angkanya rendah.”

Ribuan ojek online

Di tempat lain, kemunculan ojek online sejak lima tahun belakangan menambah banyak lalu lalang sepeda motor di Jakarta.

Tahun 2016, Go-Jek mengaku memiliki armada 200 ribu pengemudi ojek online, separuhnya berada di Jakarta. Grab-bike, penyedia jasa transportasi online asal Malaysia di tahun yang sama memiliki 3 ribu pengendara motor. Jumlah ini masih ditambah dengan pengemudi motor milik Uber.

Uber Indonesia, melalui Maruli Ferdinand sebagai perwakilannya, tak menyebut berapa jumlah armada motor mereka. Tapi, mereka menolak dianggap sebagai penyebab kemacetan.

Maruli justru menyebut layanan ridesharing seperti mereka membantu masyarakat untuk bepergian dengan lebih mudah dan lebih cepat, dari halte dan stasiun transportasi umum ke kawasan perkantoran – selain juga membantu menekan angka pengangguran.

“Dengan Uber Motor, kami mengajak masyarakat Jakarta untuk meninggalkan sepeda motor pribadi mereka di rumah dan berbagi tumpangan dengan yang lain untuk menuju ke tempat kerja. Dengan demikian, akan ada lebih sedikit kendaraan bermotor di jalan, namun dengan lebih banyak penumpang yang terakomodasi,” kata Maruli.

Dalam laporan Memikirkan Kembali Mobilitas Perkotaan di Indonesia (2017) yang dirilis oleh AlphaBeta, sebuah lembaga penasihat strategi dan ekonomi untuk Uber, nyaris 40 persen wilayah Jabodetabek yang tingkat kemacetannya tinggi dan kesulitan parkirnya sangat akut, tidak terlayani secara memadai oleh angkutan umum.

Dari segi populasi, sebut laporan yang sama, hanya 16 persen penduduk yang tinggal di wilayah metro Jakarta tinggal dalam jarak 1 kilometer dari angkutan umum yang tersedia. 

Akibat, bukan penyebab

Melihat permasalahan macet di Ibu Kota yang sudah begitu ruwet, memang gampang menunjuk banyaknya motor menjadi kambing hitam. Tapi tentu permasalahannya tak semudah itu.

Andri Yansah mengaku, Pemprov DKI dan pemerintah pusat telah melakukan berbagai cara untuk mengurai kemacetan. Pola transportasi makro pun sudah dibuat dalam Peraturan Gubernur nomor 103 tahun 2007, yakni peningkatan angkutan umum masal, pengendalian lalu lintas, dan peningkatan jaringan jalan. “Salah satunya dengan pembatasan penggunaan sepeda motor dan juga ganjil-genap,” tambah dia.

Selain itu, Jakarta juga sedang membangun angkutan umum yang terintegrasi, mulai dari Light Rail Transit (LRT), Mass Rapid Transit (MRT), Bus Rapid Transit (BRT) dan Non-BRT, angkutan sekolah hingga angkutan perairan. 

Ini masih ditambah dengan peningkatan jaringan jalan seperti fly-over dan under-pass.

Namun, semua itu menjadi sia-sia ketika masyarakat tetap memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi dalam beraktivitas.

Motor, kata Yoga, menjadi pilihan mudah untuk masyarakat kelas menengah dan bawah di Jakarta karena secara finansial lebih murah. Secara budaya, kendaraan roda dua juga lebih lekat dengan masyarakat Asia.

“It’s an Asian thing,” kata Yoga sambil menyebutkan Vietnam, Thailand, Pakistan, Myanmar sebagai negara-negara Asia yang juga lekat dengan penggunaan sepeda motor.

Budaya ini, sebut Yoga, sudah terbentuk sejak dulu. Asia memiliki struktur kota yang terpencar-pencar, sehingga setiap orang memiliki rumah yang jauh jaraknya dari jalan utama. Terkadang jalannya pun sempit. “Dari rumah ke jalan utama harus pakai kendaraan bermotor roda dua,” terangnya.

Maka, pilihan kendaraan bagi masyarakat Asia tak bisa disamakan begitu saja dengan masyarakat Eropa. “Di Eropa, struktur kotanya compact. Mereka tidak butuh motor. Mobil baru masuk ke Asia pada tahun 70-an, ketika jalan-jalan besar mulai dibuat. Sejak itu, masyarakat Asia seakan takjub dengan mobil,” lanjutnya.

Mobil lantas menjadi penanda status sosial. Pemilik mobil jadi enggan berpanas-panas atau berpeluh-peluh naik motor atau transportasi umum. Jika cara pikir seperti ini tak diubah, baik Yoga dan Andri sama-sama berpendapat kemacetan di Jakarta tak akan pernah terurai.

Akan lebih parah jika, kata Yoga, “Pembuat keputusan [pemerintah] memandang permasalahan kemacetan Jakarta dari kacamata pengendara mobil.” Selamanya, motor akan jadi kambing hitam kemacetan Jakarta.

Padahal, ada sisi-sisi geografis, budaya, dan ekonomi yang membuat orang lebih memilih memakai motor ketimbang transportasi lain.

Dia pun menekankan, “Motor bukan penyebab [kemacetan], melainkan akibat dari struktur kota Jakarta.”

Sementara itu, bagi kebanyakan masyarakat Ibu Kota, motor adalah solusi.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın