Nasional

Tim Advokasi: Revisi UU KPK cacat formil dan tidak sesuai prosedur

Dalam sidang perdana di Mahkamah Konstitusi, Tim Advokasi menuturkan cacat formil itu ada pada proses revisi UU KPK yang terburu-buru, tidak mewakili aspirasi publik, dan tidak melibatkan KPK

Nicky Aulia Widadio  | 09.12.2019 - Update : 10.12.2019
Tim Advokasi: Revisi UU KPK cacat formil dan tidak sesuai prosedur Ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi terlibat bentrok dengan aparat keamanan saat melakukan aksi unjukrasa didepan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Indonesia pada Selasa 24 September 2019. Dalam aksinya mereka meminta kepada DPR untuk membatalkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Rancangan Undang Undang Hukum Pidana. ( Eko Siswono Toyudho - Anadolu Agency )

Jakarta Raya

JAKARTA 

Tim Advokasi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan revisi UU KPK perlu dibatalkan karena cacat formil dan tidak memenuhi syarat-syarat pembuatan UU.

Tim Advokasi mengajukan gugatan formil kepada Mahkamah Konstitusi, dimana tiga orang pimpinan KPK yakni Agus Rahardjo, Laode M Syarif dan Saut Situmorang ikut serta sebagai penggugat.

Dalam sidang perdana di Mahkamah Konstitusi, Kuasa hukum Tim Advokasi, Feri Amsari menuturkan cacat formil itu ada pada proses revisi UU KPK yang terburu-buru, tidak mewakili aspirasi publik, dan tidak melibatkan KPK.

“Kami merasa uji materil belum perlu, begitu uji formil dikabulkan maka Undang-Undang ini bisa dibatalkan,” kata Feri di Jakarta, Senin.

Kesan terburu-buru itu, kata Feri, tampak dari singkatnya waktu pembahasan revisi padahal UU KPK tidak termasuk ke dalam program legislasi nasional DPR.

Dia menuding revisi UU KPK merupakan bagian dari upaya pelemahan lembaga anti-rasuah itu secara terstruktur, sistematis dan masif.

Selain itu, Tim Advokasi menemukan bahwa pengesahan revisi UU KPK dalam rapat paripurna DPR tidak memenuhi syarat kuorum.

Dia mengklaim hanya ada 180 anggota DPR yang menitipkan absen dari total 287 hingga 289 anggota yang namanya tercatat dalam daftar hadir pada sidang paripurna pengesahan revisi UU KPK.

Jumlah anggota dewan yang hadir tidak memenuhi syarat kuorum yang semestinya dihadiri oleh separuh total anggota DPR.

“Kami merasa tindakan anggota DPR titip absen itu merusak prosedur pembentukan perundang-undangan, sehingga aspirasi publik yang semestinya terwakili dari kehadiran mereka menjadi terabaikan,” tutur Feri.

Poin lainnya, KPK merasa tidak dilibatkan dalam proses revisi UU KPK oleh DPR dan pemerintah.

Pemerintah hanya mengirimkan dua perwakilan untuk membahas revisi UU KPK di DPR, yakni Menteri Hukum dan HAM serta Menteri PAN-RB.

“Menurut kami tidak salah dikirim dua ini, hanya semestinya juga dilibatkan KPK,” tutur Feri.

Tim Advokasi juga mengkritik naskah akademik dari RUU revisi UU KPK juga tidak dapat diakses publik, padahal dokumen itu semestinya disebarluaskan kepada publik.

Selain itu, naskah akademik dari penyusunan revisi UU KPK juga tidak menguraikan landasan teori, evaluasi praktis, yuridis mengenai perubahan-perubahan materi dalam UU KPK lawas.

Lewat dalil-dalil itu, mereka meminta MK membatalkan revisi UU KPK yang dianggap melemahkan lembaga anti-rasuah itu.

Feri mengatakan para pemohon dalam hal ini memiliki kedudukan hukum untuk menggugat sebagai warga negara yang merasa hak konstitusinya dilanggar untuk mendapatkan jaminan dan kepastian hukum yang adil tentang proses pembentukan UU.

Pengesahan revisi UU KPK pada September memicu unjuk rasa mahasiswa serta sejumlah perwakilan masyarakat sipil.

Mereka menilai pengesahan revisi UU KPK justru melemahkan posisi lembaga itu dalam penindakan kasus korupsi.

Salah satunya dengan kehadiran Dewan Pengawas yang berpotensi membatasi ruang gerak KPK. KPK harus mendapatkan izin terlebih dahulu sebelum melakukan penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Selain itu, KPK dimungkinkan untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.