Ekonomi, Analisis, Nasional

Cukai rokok: Antara kepentingan industri dan visi kesehatan

Tidak naiknya tarif cukai rokok memberi napas bagi industri sektor tembakau yang terus menurun, tapi juga mempersulit target pemerintah menurunkan jumlah perokok

Nicky Aulia Widadio  | 16.01.2019 - Update : 17.01.2019
Cukai rokok: Antara kepentingan industri dan visi kesehatan Pekerja menaburkan rajangan tembakau ke atas rak penjemur di Desa Reco, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Indonesia pada 11 Agustus 2018. Bulan Agustus - September - Oktober adalah musim panen bagi para petani tembakau di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. (Surya Fachrizal Aprianus - Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Nicky Aulia Widadio

JAKARTA

Kebijakan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok menuai kritik dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan tidak naiknya tarif cukai rokok sebagai langkah mundur pemerintah dalam upaya mengendalikan tembakau.

Kementerian keuangan menanggapi kritik YLKI, melalui siaran persnya, dengan mengatakan kebijakan tersebut mempertimbangkan sejumlah isu termasuk tenaga kerja dan pemberantasan rokok ilegal.

Sejak Presiden Jokowi menjabat pada 20 Oktober 2014, tarif cukai rokok naik setiap tahun.

Pada 2015, tarif cukai rata-rata naik 8,7 persen, dan berikutnya, tarif naik 11,19 persen. Setelah itu, pada 2017 cukai naik 10,54 persen, dan 2018 melonjak 10,04 persen.

Tahun ini merupakan kali pertama Jokowi, sapaan akrab Presiden, tidak menaikkan tarif cukai rokok.

Menurut data Kemenkeu sepanjang 2013 hingga 2018, kenaikan tarif cukai dan penyesuaian harga jual eceran hasil tembakau telah berhasil menurunkan produksi sebesar 2,8 persen dan meningkatkan penerimaan negara sebesar 10,6 persen.

Namun, bagi Tulus, upaya pemerintah tersebut belum cukup untuk menurunkan tingkat konsumsi rokok di masyarakat.

“Pemerintah seharusnya melawan peredaran rokok ilegal melalui penegakan hukum,” ujar dia.

Kenaikan tarif cukai rokok, kata Tulus, mestinya menjadi instrumen yang efektif menurunkan angka konsumsi rokok.

Dia menganggap seharusnya pemerintah kembali menaikkan cukai rokok agar komoditas tersebut menjadi mahal.

“Kenaikan cukai bisa membuat rokok lebih mahal sehingga orang-orang miskin, remaja dan anak-anak tidak bisa membeli dan mengonsumsi rokok,” kata Tulus dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Jumat lalu.

Anggota Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Jalal juga menyampaikan bahwa konsumsi rokok akan jauh menurun apabila harga jual ecerannya naik menjadi Rp50 ribu per bungkus.

“Karena pemerintah tidak menaikkan cukai rokok sebesar harga yang sudah disebutkan oleh berbagai studi, penurunan konsumsinya akan kecil,” jelas Jalal.

Menurut survei Sosial Ekonomi Nasional Konsumsi dan Pengeluaran pada Maret 2018, rokok merupakan salah satu komoditas penyumbang kemiskinan terbesar, yaitu sebesar 11,07 persen di perkotaan dan 10,21 persen di pedesaan.

Selain itu, hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan prevalensi merokok pada remaja justru naik dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.

Angka itu berbanding terbalik dengan target pemerintah dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk menurunkan prevalensi merokok pada remaja menjadi 5,4 persen pada 2019.

Menurut data BPS, jumlah perokok di Indonesia tercatat mencapai 36,3 persen dari populasi atau sekitar 94 juta orang pada 2018.

Gambaran perokok usia muda ini, sambung Tulus, menjadi ancaman serius dalam bidang pembangunan sumber daya manusia di Indonesia, khususnya pada konteks kesehatan.

Beda kepentingan antar-instansi

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantoro mengakui bahwa target pemerintah mengurangi jumlah perokok remaja tidak tercapai dalam empat tahun masa pemerintahan Jokowi.

“Faktanya target itu tidak tercapai hingga tahun keempat,” kata Anung ketika dihubungi Anadolu Agency, Selasa.

Menurut Anung ada sejumlah faktor yang menyebabkan prevalensi rokok pada remaja meningkat, yakni harga rokok masih relatif murah, aturan terkait iklan rokok lebih longgar, pictoral health warning belum efektif, pola pemasaran rokok yang memungkinkan dibeli ‘ketengan’, serta pengaruh pergaulan dan budaya masyarakat.

“Kenaikan harga rokok melalui kenaikan tarif cukai bukan satu-satunya faktor,” ucap dia.

Kementerian Kesehatan, sambung dia, telah berkali-kali memaparkan data terkait bahaya rokok dalam rapat kabinet terbatas, namun selalu berhadapan dengan isu lain yang tidak terelakkan, seperti tenaga kerja.

Kementerian Perindustrian pada 2016 lalu mencatat industri tembakau dan rokok melibatkan sekitar 6 juta tenaga kerja dengan perincian 4,28 juta di sektor manufaktur dan distribusi serta 1,7 juta orang di sektor perkebunan.

“Setiap kementerian juga punya argumentasi, lapangan kerja misalkan, juga produktivitas dan lahan. Kalau kita melarang tembakau lalu petaninya bagaimana?” kata Anung.

Sebaliknya dari sisi kesehatan, Anung menyebut semua penyakit tidak menular berkorelasi dengan perilaku merokok secara langsung maupun tidak langsung, seperti hipertensi, diabetes, stroke, dan kanker.

Kemenkes mengkalkulasi kerugian makroekonomi yang diderita akibat konsumsi tembakau selama 2015 mencapai Rp596,61 triliun.

Jumlah itu merupakan akumulasi dari pengeluaran untuk membeli rokok sebesar Rp208,83 triliun, kerugian masa produktif akibat kematian dan cacat serta kelahiran prematur sebesar Rp374,06 triliun.

Kemudian, pengeluaran medis untuk mengobati penyakit yang berhubungan dengan tembakau sebesar Rp13,67 triliun untuk pasien rawat inap dan Rp53,44 miliar untuk pasien rawat jalan.

Kerugian tersebut jauh lebih besar dibanding pendapatan negara dari cukai rokok di tahun yang sama sebesar Rp123,2 triliun.

Presiden Jokowi melalui nawacita untuk meningkatkan kualitas hidup manusia juga menargetkan peningkatan 200 persen nilai cukai rokok mulai 2015 dari harga rata-rata pada 2013 sebesar Rp375 per batang.

Nawacita tersebut juga belum tercapai memasuki tahun kelima pemerintahan Jokowi.

Anung mengatakan pihaknya tidak bisa mengintervensi keputusan untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok.

Dengan kebijakan yang telah dibuat, Kementerian Kesehatan akan mengampanyekan bahaya merokok melalui aspek pencegahan lain.

“Kalau pemerintah mengambil kebijakan cukai rokok belum dinaikkan, dalam arti, rokok masih relatif murah dan terjangkau, kami tidak berhenti di situ. Kami bermain di aspek lain,” jelas Anung.

Aspek lain yang dia maksud di antaranya sosialisasi bahaya merokok dan pembatasan tempat-tempat untuk merokok.

Di lain pihak, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Abdul Rochim mengatakan tidak naiknya tarif cukai memberi ruang bagi industri rokok di Indonesia untuk bernapas.

Menurut Rochim, jumlah pabrik rokok menurun sekitar 80,83 persen dari 2.540 pabrik pada 2011 menjadi 487 pabrik pada 2017.

Rochim mengatakan kenaikan tarif cukai merupakan salah satu faktor menurunnya industri rokok, terutama pada tataran industri kecil dan menengah.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat melambatnya pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) industri pengolahan tembakau.

PDB industri pengolahan tembakau hanya tumbuh pada 0,84 persen pada 2017, lebih rendah dari pertumbuhan PDB pada 2016 sebesar 1,58 persen.

Meski tren industri rokok terus menurun, performa sejumlah perusahaan rokok skala besar cenderung stabil.

Berdasarkan laporan keuangan tahun 2017 Gudang Garam, perusahaan mendapat laba bersih sebesar Rp7,70 triliun atau naik 16,8 persen dari perolehan laba bersih 2016 sebesar Rp6,59 triliun.

Sementara itu, Sampoerna mengalami penurunan laba bersih sebesar 0,39 persen dari Rp12,53 triliun pada 2016 menjadi Rp12,48 triliun pada 2017.

Padahal pada 2016, Sampoerna memperoleh kenaikan laba bersih hingga 20,94 persen dibanding perolehan 2015 sebesar Rp10,36 triliun.

Dalam laporan keuangan tahunannya, Sampoerna menjelaskan bahwa penurunan industri rokok dipicu oleh melemahnya konsumsi ritel, perubahan perilaku konsumen, dan kenaikan harga jual yang dipicu kenaikan pajak cukai yang lebih tinggi dari tingkat inflasi.

“Mudah-mudahan tarif cukai tidak naik ini bisa membuat industri lebih stabil,” ujar Rochim ketika dihubungi.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.