Regional

Organisasi-organisasi Rohingya kritik kesepakatan baru UN-Myanmar

Kesepakatan baru-baru ini tentang pemulangan Rohingya tidak melibatkan perwakilan pengungsi, kata beberapa kelompok

İqbal Musyaffa  | 10.06.2018 - Update : 11.06.2018
Organisasi-organisasi Rohingya kritik kesepakatan baru UN-Myanmar Para pengungsi Rohingya yang berada di kamp pengungsi Teknaff, Bangladesh, September 2017 ( Zakir Hossain Chowdhury - Anadolu Agency )

Ankara

Sena Guler

ANKARA

Organisasi-organisasi Rohingya di seluruh dunia pada Minggu mengkritik perjanjian baru yang ditandatangani antara Myanmar dan PBB mengenai pemulangan pengungsi Rohingya, dengan mengatakan bahwa itu tidak menyentuh akar penyebab krisis.

"Kami sangat prihatin bahwa MOU [Memorandum of Understanding] tidak mengatasi akar penyebab krisis Rohingya, khususnya masalah kewarganegaraan dan identitas etnis Rohingya," kata pernyataan bersama yang ditandatangani oleh 23 organisasi Rohingya, termasuk Dewan Rohingya Eropa (ERC) dan Arakan Rohingya National Organization (ARNO).

Pada tanggal 6 Juni, pemerintah Myanmar menandatangani perjanjian dengan Program Pembangunan PBB (UNDP) dan Badan Pengungsi PBB (UNHCR), yang memungkinkan mereka untuk terlibat dalam proses repatriasi yang sangat tertunda.

Pernyataan itu juga menyuarakan keprihatinan atas tidak dilibatkannya perwakilan pengungsi dalam penandatanganan perjanjian, meskipun Rohingya memiliki hak untuk mengetahui isi kesepakatan tentang pemulangan mereka.

"Teks-teks MOU belum membuat komunitas internasional memahami hal yang gelap dan menimbulkan pertanyaan," tambah pernyataan tersebut.

Pernyataan bersama juga menyebut semua catatan sebelumnya menunjukkan bahwa badan-badan PBB, termasuk UNHCR sebagai agen dari kepentingan masyarakat internasional, tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai kepada para pengungsi Rohingya karena kekeraskepalaan pemerintah Myanmar.

--Pertanyaan hidup dan mati

"Pemulangan adalah pertanyaan hidup dan mati untuk seluruh orang Rohingya,” ujar pernyataan itu.

Dia menambahkan, orang-orang Rohingya tidak mau kembali ke Myanmar karena pihak berwenang, yang "terlibat dalam genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan", tidak mengubah sikap mereka terhadap Rohingya.

"Mereka tidak bisa mempercayai pemerintah Myanmar dan militer yang telah membunuh, memperkosa, dan membuat mereka kelaparan dengan ratusan desa mereka diratakan, tanah mereka diambil dan rumah-rumah tinggal dilibas,” tambah pernyataan itu.

Pernyataan tersebut juga menyerukan perlidungan internasional dari negara dan aktor regional dan pasukan penjaga perdamaian PBB.

"Last but not least, harus ada akuntabilitas dan pelaku kejahatan harus dibawa ke pengadilan dan disebut Mahkamah Pidana Internasional (ICC)," tutup pernyataan itu.

--Krisis Rohingya

Sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 750.000 pengungsi, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas Muslim minoritas, menurut Amnesty International.

Setidaknya 9.400 orang Rohingya tewas di Rakhine dari 25 Agustus hingga 24 September tahun lalu, menurut Doctors Without Borders.

Dalam laporan yang diterbitkan baru-baru ini, kelompok kemanusiaan mengatakan kematian 71,7 persen atau 6.700 orang Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Mereka termasuk 730 anak-anak di bawah usia 5 tahun.

Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai orang-orang yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi ketakutan yang meningkat karena puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.

PBB mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan - termasuk bayi dan anak kecil - pemukulan brutal, dan penghilangan yang dilakukan oleh personil keamanan.

Dalam laporannya, penyelidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran tersebut mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.