Dunia, Regional

PBB: Perusahaan dari tujuh negara pasok senjata ke Myanmar di tengah krisis Rohingya

Tim Pencari Fakta PBB, yang merilis laporan terbaru terkait krisis di Rohingya, kembali menyerukan agar dilakukan embargo senjata terhadap Myanmar

Nicky Aulia Widadio  | 05.08.2019 - Update : 06.08.2019
PBB: Perusahaan dari tujuh negara pasok senjata ke Myanmar di tengah krisis Rohingya Ilustrasi. (Foto file-Anadolu Agency)

Jakarta Raya

Nicky Aulia Widadio

JAKARTA 

Tim Pencari Fakta PBB untuk Rohingya menemukan fakta bahwa perusahaan dari tujuh negara masih memasok senjata untuk militer Myanmar di tengah krisis kemanusiaan yang dihadapi etnis Rohingya.

Dalam laporan terbaru yang dirilis Senin, PBB mengklaim memiliki dasar-dasar yang kuat untuk menyimpulkan hal tersebut.

Ada 14 perusahaan asing asal China, Korea Utara, India, Israel, Filipina, Rusia, dan Ukraina yang memasok jet tempur, kendaraan tempur lapis baja, kapal perang, rudal dan peluncur rudal ke Myanmar sejak 2016.

Selama periode tersebut, militer Myanmar melakukan pelanggaran HAM sistematis terhadap warga sipil di negara bagian Kachin, Shan, dan Rakhine, termasuk memaksa lebih dari 700 ribu etnis Rohingya ke Bangladesh.

“Negara-negara itu seharusnya tahu bahwa hal itu akan memiliki dampak buruk secara langsung dan dapat berdampak secara langsung pada hak asasi manusia orang-orang di Myanmar,” tulis laporan itu, dikutip pada Senin.

PBB menekankan transaksi senjata bertentangan dengan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dimana Korea Utara, Israel Rusia, dan Ukraine merupakan aktor negara, sedangkan China sebagai penandatangan.

PBB menganggap transfer tersebut mengindikasi negara-negara tersebut gagal mengimplementasikan HAM secara efektif.

“Penyelidikan lebih lanjut diperlukan sehubungan dengan sifat senjata atau barang-barang terkait yang mungkin diperoleh Myanmar dari dua bisnis yang berbasis di Singapura, yang bukan merupakan pihak atau penandatangan ICCPR,” tulis laporan tersebut.

PBB menyerukan agar komunitas internasional melakukan embargo senjata terhadap Myanmar, seperti yang telah dilakukan Uni Eropa.

“Itu sebabnya kami menyerukan embargo dengan pesan yang jelas, bahwa berurusan dengan Tatmadaw (militer Myanmar) mulai hari ini akan memiliki konsekuensi hukum internasional,” kata Ketua Misi Pencari Fakta Dewan HAM PBB Marzuki Darusman, dalam konferensi pers di Jakarta.

Kerajaan bisnis militer Myanmar

Laporan ini juga memaparkan dua perusahaan yakni Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC), yang dimiliki oleh dua pimpinan senior militer yakni Panglima Senior Jenderal Min Aung Hlaing dan Wakil Panglima Senior Jenderal Soe Win.

MEHL dan MEC memiliki setidaknya 120 bisnis di sektor konstruksi, farmasi, manufaktur, asuransi, pariwisata hingga pariwisata.

Kedua perusahaan bersama 26 anak perusahaan juga memiliki lisensi tambang batu giok dan rubi di negara bagian Kachin dan Shan.

Selain itu, 15 perusahaan asing memiliki kerja sama dengan militer Myanmar, dimana 44 perusahaan asing lainnya memiliki perjanjian dengan unit bisnis milik militer Myanmar.

Marzuki mengatakan militer Myanmar memanfaatkan bisnis mereka dan kesepakatan dengan perusahaan asing untuk mendukung operasi brutal terhadap kelompok etnis Rohingya.

“Bisnis Tatmadaw itulah yang menjadi landasan kemampuan yang ditingkatkan oleh sumber daya untuk bisa melakukan operasi pembersihan yang didukung oleh sumbangan bisnis di luar APB- nya untuk pelanggaran HAM serius,” kata dia.

Sebanyak 45 perusahaan dan organisasi di Myanmar mendonasikan lebih dari USD10 juta pada 2017 lalu dimana ada operasi pembersihan di Rakhine State.

Selain itu ada “perusahaan kroni” yang memiliki hubungan dekat dengan militer Myanmar membiayai proyek pembangunan di Rakhine State untuk “rekayasa ulang wilayah untuk menghapus bukti Rohingya milik Myanmar”.

Dua perusahaan juga membantu biaya pembangunan pagar pembatas di sepanjang perbatasan Myanmar dan Bangladesh untuk mencegah kembalinya Rohingya ke tanah mereka.

“Itu mengejutkan saya bahwa para pemimpin perusahaan mau menyumbangkan uang dan dengan demikian membuat diri mereka terlibat dalam tindakan militer,” kata salah satu pakar Tim Pencari Fakta PBB untuk Rohingya, Christoper Sidoti.

Sidoti mengatakan tindakan nyata harus diambil untuk menangani tanggung jawab sosial perusahaan-perusahaan agar menghormati HAM di Myanmar.

Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai kelompok yang paling teraniaya di dunia, menghadapi ketakutan yang terus meningkat sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.

Menurut Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA), sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 24.000 Muslim Rohingya telah dibunuh oleh tentara Myanmar.

Lebih dari 34.000 orang Rohingya juga dibakar, sementara lebih dari 114.000 lainnya dipukuli, menurut laporan OIDA yang berjudul 'Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang Tak Terkira’.

Sekitar 18.000 perempuan Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar dan lebih dari 115.000 rumah Rohingya dibakar sementara 113.000 lainnya dirusak.

Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan kekerasan terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.