Dunia

ICC akan tentukan nasib penyelidikan Rohingya akhir Oktober

Para hakim ICC akan mendengarkan kesaksian para korban dari Rohingya serta tim penuntut hinga akhir Oktober, kata pejabat itu

Rhany Chairunissa Rufinaldo  | 19.07.2019 - Update : 20.07.2019
ICC akan tentukan nasib penyelidikan Rohingya akhir Oktober Ilustrasi. (Foto file-Anadolu Agency)

Ankara

Md. Kamruzzaman

DHAKA, Bangladesh 

Panel hakim Mahkamah Pidana Internasional (ICC) akan menentukan apakah penyelidikan kekerasan terhadap Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, diperlukan atau tidak pada akhir Oktober.

“Dalam tiga bulan, para hakim akan menerima informasi dari penuntut, sementara para korban [Rohingya] juga akan diizinkan untuk berbicara tentang penderitaan mereka [melalui tim penuntut] dan cara-cara lain,” kata Wakil Jaksa Penuntut ICC James Kirkpatrick Stewart dalam konferensi pers di Dhaka, Bangladesh, Kamis.

Pada 4 Juli, Jaksa ICC Fatou Bensouda mengajukan permohonan untuk memulai penyelidikan atas kejahatan yang dilakukan oleh tentara terhadap minoritas Muslim di Myanmar.

Menurut ICC, sebuah panel yang beranggotakan tiga anggota majelis hakim sedang memeriksa kelayakan permohonan Bensouda sebelum mengesahkan penyelidikan.

Menanggapi pertanyaan tentang mengapa ICC belum memulai penyelidikan meskipun hampir dua tahun berlalu sejak pelanggaran dimulai di Rakhine, Stewart mengatakan bahwa penundaan tersebut memang membuat frustrasi, tetapi tidak akan sia-sia.

Dia menambahkan bahwa mahkamah diharuskan untuk melewati serangkaian prosedur sesuai dengan Statuta Roma.

“Kekerasan diduga terjadi di Myanmar. Tetapi warga Rohingya dideportasi ke Bangladesh, sebuah negara yang menandatangani Statuta Roma. Ini memungkinkan ICC untuk menyelidiki kasus ini,” ungkap Stewart.

Mengenai apakah tim penuntut ICC memiliki rencana untuk mengunjungi Rakhine untuk penyelidikan yang lebih otentik, Stewart mengatakan pihaknya telah mendekati pemerintah Myanmar untuk memberi akses ke negara bagian itum tetapi belum mendapat tanggapan.

Dia menekankan bahwa tim penuntut ICC selalu siap untuk mengunjungi Rakhine dan berusaha untuk mendapatkan izin dari Myanmar.

Dalam analisisnya, tambah Stewart, Bensouda menentukan bahwa ada dasar yang masuk akal untuk percaya bahwa setidaknya 700.000 orang Rohingya dipindahkan dari Myanmar ke Bangladesh melalui serangkaian tindakan pemaksaan dan penderitaan besar.

"Ada juga dasar yang masuk akal untuk percaya bahwa orang-orang Rohingya telah menderita penganiayaan sebagai akibat dari dugaan kejahatan ini, yang membuat Rohingya tidak punya pilihan selain melarikan diri dari Myanmar," pungkas dia.

Kelompok yang teraniaya

Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai kelompok yang paling teraniaya di dunia, menghadapi ketakutan yang terus meningkat sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.

Menurut Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA), sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 24.000 Muslim Rohingya telah dibunuh oleh tentara Myanmar.

Lebih dari 34.000 orang Rohingya juga dibakar, sementara lebih dari 114.000 lainnya dipukuli, menurut laporan OIDA yang berjudul 'Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang Tak Terkira'

Sekitar 18.000 perempuan Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar dan lebih dari 115.000 rumah Rohingya dibakar sementara 113.000 lainnya dirusak.

Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan kekerasan terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.

PBB mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan - termasuk bayi dan anak kecil - pemukulan brutal, dan penculikan yang dilakukan oleh personil keamanan.

Dalam laporannya, penyelidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.