Budaya, Nasional

Merasakan dahsyatnya tsunami Aceh lewat sebuah museum

Kepala Museum Tsunami Aceh Hafnidar menjelaskan pihaknya ingin memberikan edukasi bencana terhadap masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda

Pizaro Gozali İdrus  | 20.08.2019 - Update : 23.08.2019
Merasakan dahsyatnya tsunami Aceh lewat sebuah museum Warga mengunjungi Museum Tsunami Aceh yang berlokasi di Banda Aceh, Indonesia pada 19 Agustus 2019. Museum ini dibangun pada 2007 bertujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang gempa dan tsunami Aceh 2004 silam, serta menjadi tempat mitigasi bencana alam. ( Khalis Surry - Anadolu Agency )

Jakarta Raya

ACEH

Muhammad Daud, 50, masih belum bisa melupakan peristiwa mengerikan yang dialaminya lima belas tahun silam.

Kala itu, gelombang tsunami menghempas provinsi Aceh hingga menewaskan lebih dari 200 ribu jiwa manusia.

“Saya merasakan dunia sudah mau kiamat,” kata Daud saat ditemui Anadolu Agency di Aceh pada Senin.

Saat kejadian, Daud persis berada di bibir pantai untuk memancing bersama dua rekannya pada pagi 26 Desember 2004.

Tiba-tiba, gempa bumi dari dalam laut menggoyang-goyang tubuhnya.

Dia mengaku guncangan itu awalnya terasa pelan, namun kian lama kian kencang dan berlangsung hingga sepuluh menit.

“Saya melihat dengan mata kepala sendiri tanah terbelah dua,” terang Daud menghadirkan kembali peristiwa mencekam itu.

Dari dalam tanah itu, urai Daud, air bercampur lumpur menyembur ke atas hingga menumpahkan air ke daratan.

“Semburannya setinggi pohon pinang,” kata Daud sambil melempar tangannya ke atas.

Beruntung, Daud berhasil menyelamatkan diri bersama anak dan istrinya ke sebuah masjid.

Dia memacu sepeda motornya untuk membawa keluarganya pergi sejauh mungkin dari kejaran tsunami

“Air masuk sampai bawah masjid,” ungkap Daud.

Edukasi bencana

Peristiwa bersejarah itulah yang kini diabadikan Museum Tsunami Aceh. Berdiri pada 2009, museum yang terletak di Jalan Blang Padang, Aceh ini memuat peninggalan-peninggalan bencana tsunami.

Di muka museum, pengunjung sudah disuguhkan puing-puing truk yang hancur dilumat tsunami.

Sedangkan pada bagian dalam, terdapat “Lorong Tsunami” yang sempit dan gelap di antara dua dinding tinggi.

Suasana ini membawa pengunjung merasakan kembali detik-detik amukan tsunami.

Usai melewati lorong, pengunjung akan tiba di ruang Sumur Doa yang menyimpan 2.000 nama para korban tsunami.

Kepala Museum Tsunami Aceh Hafnidar menjelaskan pihaknya ingin memberikan edukasi bencana terhadap masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda.

Menurut dia, banyak anak muda yang lahir setelah tahun 2004 minim informasi mengenai peristiwa tsunami Aceh.

“Apalagi Aceh dan Indonesia wilayah rawan bencana, sangat penting bagi kita mendidik generasi muda,” kata Hafnidar saat berbincang dengan Anadolu Agency.

Namun, Hafnidar menegaskan museum ini tidak ingin sekedar menonjolkan benda-benda, tapi juga menampilkan pesan-pesan sarat hikmah di balik objek tersebut.

“Kami ingin mempromosikan nilai. Itu ciri museum post-modern abad 21,” kata perempuan yang juga pernah menjadi tim kurator dan materi museum presiden di Bogor.

Kini, terang Hafnidar, Museum Tsunami Aceh tengah menyiapkan para duta sadar bencana yang berasal dari 600 siswa sekolah menengah pertama yang akan memberikan edukasi soal tsunami.

“Mereka akan sharing ke kita soal keluarga atau orang-orang yang terkena tsunami,” terang museolog lulusan Universitas Indonesia ini.

Membumikan kearifan lokal

Hafnidar mengatakan masyarakat Aceh sebenarnya memiliki khazanah yang melimpah mengenai sikap sadar bencana.

Dia mencontohkan masyarakat Simeuleu memiliki pemahaman Smong untuk mewaspadai gelombang tsunami.

Smong adalah istilah tradisional masyarakat di Pulau Simeulue, Aceh, untuk menyebut sebuah gelombang laut besar yang melanda setelah sebuah gempa bumi menghantam. Istilah ini berasal dari bahasa Devayan, bahasa asli masyarakat Simeulue.

Menurut perempuan asal Aceh ini, tradisi Smong diwarisi para nenek moyang masyarakat Simeuleu sebagai langkah sadar bencana.

“Masyarakat dahulu sudah waspada bencana,” kata dia.

Selain itu, masyarakat Aceh Timur juga mengenal konsep Le Beuna atau tsunami dari generasi pendahulu mereka.

Sebutan ini, jelas Hafnidar, berulang kali disebut dalam catatan naskah kuno Syekh Abbas Kuta Karang.

“Bencana gempa dan dampaknya juga dipaparkan dalam naskah kuno ini yang dimaksudkan agar masyarakat siap dengan bencana alam,” kata dia.

Jauh sebelum kehidupan modern, kata Hafnidar, Syekh Abbas Kuta Karang dalam kitabnya Tajul Muluk telah memaparkan konsep Rumoh Aceh sebagai bangunan tahan gempa.

Arah angin, posisi bangunan, teknik konstruksi, bahkan motif rumah juga dirancang tanggap bencana.

“Mempelajari sesuatu yang lebih dekat dengan masyarakat itu sendiri akan memudahkan kita mengedukasi bencana,” urai Hafnidar.

Minat wisatawan tinggi

Kini Museum Tsunami Aceh telah menjadi destinasi wisata bagi masyarakat lokal maupun internasional.

Komunitas Jejak Langkah Sejarah (Jelajah) menobatkan Museum Tsunami Aceh sebagai museum terpopuler di Indonesia pada 2018 karena tingginya mobilitas pengunjung.

Pihak museum menyampaikan sedikitnya 2000 pengunjung mendatangi tempat ini pada hari kerja, sedangkan pada akhir pekan, jumlah pengunjung bisa mencapai hingga 6.000 orang.

Salah satunya adalah Gatot Wahyu. Pria asal Bogor, Jawa Barat ini sengaja menyambangi museum ini bersama koleganya untuk mendapatkan informasi lebih jauh soal perkembangan tsunami Aceh.

“Di museum ini, kapan tsunami terjadi dan berapa korbannya bisa diketahui," jelas pria berumur 45 tahun ini.

Gatot mengaku Museum Tsunami Aceh telah membawanya seolah-olah berada di tengah para korban.

“Baru pertama kali masuk lorong, langsung masuk ke hati,” kata dia.

Dia berharap para pengunjung dapat menghargai museum dengan tetap menjaga kelestariannya.

“Saya minta para pengunjung tidak mencopot nama-nama para korban tsunami,” imbuh Gatot.

Sementara itu, Lely, pengunjung asal Surabaya merasa haru saat menginjakkan kaki di museum ini.

Perempuan yang merupakan konsultan ini mengaku Museum Tsunami Aceh telah membawa dirinya kembali mengenang bencana mematikan itu.

“Pertama kali masuk merinding, membuat flashback saat kejadian waktu tsunami,” kata perempuan berusia 23 tahun ini.

Lely mengaku tsunami Aceh adalah sejarah tak terlupakan bagi bangsa Indonesia.

Sudah sepatutnya, kata dia, museum ini terus dapat berkontribusi untuk mengedukasi masyarakat dunia.

“Museum ini harus terus ditingkatkan maintenance-nya,” kata dia.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.