Dunia, Analisis

ANALISIS - Apa makna penarikan AS dari Afghanistan bagi negara-negara kawasan?

Kekosongan kekuasaan yang akan muncul di Afghanistan dengan penarikan AS dan NATO menimbulkan kekhawatiran keamanan dan membangkitkan perhatian banyak aktor regional

Dr. Hakkı Uygur - Rahimullah Farzam  | 12.08.2021 - Update : 20.08.2021
ANALISIS - Apa makna penarikan AS dari Afghanistan bagi negara-negara kawasan? Ilustrasi: Tentara Amerika. (Foto file - Anadolu Agency)

Istanbul

- Hakki Uygur, Ph. D., adalah wakil ketua Pusat Studi Iran (IRAM) di Ankara.

- Rahimullah Farzam adalah pakar kebijakan luar negeri di Pusat Studi Iran (IRAM) di Ankara. Penelitiannya terutama berfokus pada aktor non-negara di Iran dan Timur Tengah

ISTANBUL

Dengan berakhirnya operasi militer Amerika Serikat selama 20 tahun di Afghanistan pada 31 Agustus, Afghanistan tampaknya menuju ketidakpastian yang lebih besar.

Lebih dari 200 distrik dan lima pusat provinsi telah jatuh di bawah kendali Taliban sejak Mei ketika pasukan AS secara resmi mulai meninggalkan negara itu.

Bentrokan antara Taliban dan pasukan pemerintah pusat terus berlanjut.

Selain itu, pembicaraan damai yang sedang berlangsung antara pemerintah Kabul dan Taliban di Doha, ibu kota Qatar, terhenti.

Dengan penarikan pasukan AS dan NATO dari Afghanistan, Taliban diperkirakan akan mengintensifkan serangan mereka.

Kemajuan cepat Taliban meningkatkan situasi yang mirip dengan perang saudara yang meletus setelah penarikan Soviet dari Afghanistan.

Negara-negara di kawasan telah meningkatkan upaya diplomatik karena mereka tidak ingin lengah jika skenario seperti itu kembali terjadi.

Banyak negara di kawasan ingin mengatasi masalah keamanan mereka sendiri di Afghanistan, yang telah mendapatkan julukan "kuburan kekaisaran".

Untuk berbagi keprihatinan tentang perkembangan terakhir di Afghanistan, Teheran, Moskow, dan Beijing telah menjadi tuan rumah delegasi Taliban dalam beberapa pekan terakhir.

Sejumlah negara di kawasan mendukung stabilitas Afghanistan untuk memperkuat perdagangan regional, perang melawan perdagangan manusia dan penyelundupan narkoba, pencegahan arus migrasi.

Sementara yang lainnya melihat ketidakstabilan saat ini sebagai peluang untuk memperluas pengaruh mereka.

Iran

Iran, yang berbatasan hampir 900 kilometer dengan Afghanistan, ingin memainkan peran yang lebih besar di negara itu setelah penarikan AS.

Teheran berada di ambang perang dengan Taliban pada 1998 dan bekerja sama dengan AS untuk menggulingkan organisasi ini pada 2001.

Tetapi dengan perubahan situasi setelah 2000-an, membuat Iran mulai berkolaborasi dengan Taliban melawan kehadiran AS di Afghanistan.

Sejak AS mengintensifkan negosiasi dengan Taliban pada 2019, setelah Teheran mengalami perubahan sikap yang signifikan terhadap Taliban.

Selama waktu ini, Iran menjadi tuan rumah delegasi Taliban dua kali: sekali pada November 2019 dan Februari 2020, tak lama setelah AS mencapai kesepakatan dengan organisasi tersebut.

Terlepas dari perbedaan ideologis, para pejabat Iran mengakui pentingnya terus bekerja sama dengan Taliban, yang telah muncul sebagai pemain kunci politik Afghanistan.

Akibatnya, Iran mengubah bahasa yang digunakan untuk menyebut Taliban.

Misalnya, kata sifat seperti “takfiri” dan “jihadis,” yang banyak digunakan pemerintah, tidak hanya untuk Taliban tetapi juga banyak kelompok lain yang mengancam kepentingan Iran dan digunakan sebagai argumen penting bahkan selama perang Karabakh, telah lenyap.

Namun, prospek Taliban yang kini menjadi satu-satunya kekuatan Afghanistan yang harus diperhitungkan tetap menjadi garis merah bagi Iran.

Bahkan Teheran menjadi tuan rumah pertemuan dengan Taliban menyusul kemajuan pesat Taliban dalam beberapa bulan terakhir, yang mengancam keberadaan pemerintah pusat Afghanistan.

Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif menjamu delegasi Taliban dan Kabul di Teheran pada 7 Juli.

Dalam pertemuan itu, Zarif mendesak kedua belah pihak untuk kembali ke meja perundingan.

Zarif menyatakan bahwa negaranya siap membantu membawa pihak-pihak yang bertikai di Afghanistan ke meja perundingan, dengan menyatakan bahwa “...para pemimpin politik Afghanistan harus membuat keputusan yang sulit.”

Meskipun belum banyak gesekan dengan Taliban sejauh ini, yang telah menguasai daerah-daerah yang dekat dengan perbatasan Iran (termasuk penyeberangan perbatasan), pandangan yang berlaku di Teheran adalah: pemerintah yang dipimpin Taliban di Afghanistan akan menimbulkan ancaman kepentingan nasional Iran dalam jangka menengah dan panjang.

Untuk alasan ini, Iran telah menyatakan keinginan untuk menggunakan milisi Fatemiyoun Afghanistan (yang telah digunakan dalam perang di Suriah).

Dominasi budaya tradisional di kedua pemerintahan, serta cara pemerintah masing-masing memperlakukan sekte minoritas di dalamnya, menunjukkan bahwa stabilitas jangka panjang dalam hubungan Afghanistan-Iran tidak mungkin terjadi jika Taliban mendapatkan kendali penuh atas negara itu.

Rusia

Rusia, aktor penting lainnya yang berupaya mencari solusi politik di Afghanistan, mempertahankan kontak dengan Taliban dan pemerintah Afghanistan.

Moskow baru-baru ini menjadi tuan rumah serangkaian pembicaraan damai Afghanistan.

Rusia melihat penarikan AS sebagai peluang penting untuk membangun kembali pengaruh Moskow di era pasca-Soviet.

Namun di sisi lain, Rusia tidak ingin kekosongan kekuasaan yang diciptakan oleh penarikan ini menimbulkan risiko keamanan bagi kawasan.

Moskow juga khawatir bahwa Afghanistan akan menjadi tempat bagi elemen radikal yang memusuhi Rusia atau mendukung kelompok separatis di wilayah Kaukasus.

Untuk alasan ini, pihak berwenang Rusia terus mengawasi perkembangan di Afghanistan.

Menyusul kemajuan pesat Taliban, delegasi Kabul yang dipimpin oleh Hamdullah Mohib, Penasihat Keamanan Nasional Presiden Ashraf Ghani, mengunjungi Moskow pada Juli atas undangan Sekretaris Dewan Keamanan Rusia Nikolai Patrushev.

Dilaporkan bahwa para pihak membahas masalah keamanan, terorisme, dan upaya memerangi bersama penyelundupan narkoba, dan dalam pertemuan itu disoroti bahwa ketidakstabilan di utara Afghanistan mengancam Rusia dan Asia Tengah.

Setelah pertemuan itu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengumumkan bahwa Rusia siap menggunakan pangkalannya di Tajikistan untuk melindungi sekutunya di Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO) jika diperlukan.

Pada tanggal 6 Agustus, tentara Rusia melakukan latihan militer bersama dengan angkatan bersenjata Tajikistan dan Uzbekistan di sepanjang perbatasan Afghanistan untuk mengintimidasi Taliban, yang telah menguasai wilayah perbatasan.

Rusia, yang menganggap Asia Tengah dan negara-negara bekas Uni Soviet berada dalam lingkup pengaruhnya, bertindak sebagai penjamin keamanan negara-negara ini.

Dalam hal ini, krisis Afghanistan merupakan tantangan signifikan bagi peran Rusia.

Namun, kecil kemungkinan bahwa Rusia, yang memiliki citra sangat negatif di kalangan warga Afghanistan sebagai akibat dari invasi Soviet yang panjang ke negara mereka, akan meluncurkan intervensi bersenjata secara sepihak.

China

China adalah pemain penting lainnya yang diharapkan akan aktif di Afghanistan dalam waktu dekat.

Kekhawatiran utama Beijing tentang Afghanistan adalah bahwa kekacauan di seluruh negeri setelah penarikan AS dapat mengubah kawasan itu menjadi mimpi buruk keamanan bagi Beijing.

China khawatir bahwa kebangkitan Daesh dan formasi serupa di Afghanistan dapat memicu kebangkitan Gerakan Islam Turkistan Timur (ETIM) di Daerah Otonomi Uygur Xinjiang.

Dalam konteks ini, salah satu hal yang menjadi perhatian Beijing adalah kerja sama antara Taliban dan ETIM.

Menyusul tuduhan anggota Gerakan Islam Turkistan dilatih oleh Taliban dan dikirim ke China, keinginan Beijing untuk mendirikan pangkalan militer di Wakhan, wilayah perbatasan Afghanistan, terungkap.

Namun, Beijing, yang telah mengembangkan hubungan baik dengan Taliban karena kedekatannya dengan Islamabad, sejauh ini mampu mencegah kerja sama tersebut.

Beijing telah mengakui bahwa mereka perlu bekerja sama dengan Taliban sampai batas tertentu untuk menghindari masalah di Afghanistan.

Taliban juga menanggapi positif sikap hangat Beijing.

Delegasi Taliban yang baru-baru ini mengunjungi Beijing atas undangan pemerintah China berjanji untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri China dan tidak akan membiarkan wilayah Afghanistan digunakan oleh kelompok-kelompok yang akan mengancam keamanan nasional China.

Selain itu, Afghanistan adalah negara penting bagi Beijing karena terletak di sepanjang rute Belt and Road Initiative (BRI).

Beijing lebih memilih Afghanistan yang stabil tidak hanya untuk mencegah gejolak negara itu mempengaruhi wilayah Xinjiang, tetapi juga untuk memastikan keamanan BRI.

China ingin berperan aktif dalam bidang ekonomi di Afghanistan tetapi tidak mau campur tangan secara militer.​​​​​​​

India

Salah satu kekuatan penting lainnya di kawasan itu adalah India.

India berupaya memerangi pengaruh pesaing tradisionalnya, Pakistan, dan mencegah Afghanistan menjadi basis bagi kelompok ekstremis anti-India.

Pemerintah New Delhi, yang sebelumnya menghindari kontak dengan Taliban dengan alasan bahwa mereka bertindak atas perintah Pakistan, telah membalikkan kebijakan ini.

Ketika Taliban mulai dengan cepat memperluas wilayah kendali mereka, para pejabat India terlibat dalam pembicaraan langsung dengan Taliban.

Subrahmanyam Jaishankar, menteri luar negeri India, juga melakukan kunjungan diplomatik ke Iran dan Rusia untuk membahas perkembangan di Afghanistan.

India ingin lebih aktif di Afghanistan sebagai bagian dari upayanya untuk memainkan peran yang lebih aktif di arena internasional di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Narendra Modi.

Kesimpulannya, kekosongan kekuasaan yang akan muncul di Afghanistan dengan penarikan AS dan NATO menimbulkan kekhawatiran keamanan dan membangkitkan perhatian banyak aktor regional.

Sementara negara-negara seperti Pakistan dan Iran berusaha untuk memperluas lingkup pengaruh mereka dengan membentuk kelompok-kelompok milisi baru atau mengeksploitasi ketidakstabilan di Afghanistan dan pengaruh mereka terhadap Taliban, China dan Rusia khawatir bahwa ketidakstabilan ini akan menyebar ke perbatasan.

Negara-negara ini berhubungan dengan Taliban dan pemerintah Kabul untuk mengantisipasi perpecahan kekuasaan di antara keduanya.​​​​​​​

Pada akhirnya, tujuan para aktor yang terlibat dalam masalah ini adalah untuk mengamankan wilayah pengaruh mereka dan mencegah krisis Afghanistan menyebar ke luar perbatasannya.

Ketika membuat rencana terkait Afghanistan, khususnya Bandara Kabul, Turki harus dengan hati-hati mempertimbangkan berbagai kelompok kepentingan dan aliansi yang goyah dalam arena permainan multi-aktor ini.

Secara khusus, pembubaran cepat Aliansi Utara, yang dapat digambarkan sebagai “Plan B”, sikap diam Pakistan atas proposal Turki, dan ketidakefektifan pemerintah pusat yang mencurigakan dalam menangani serangan Taliban, semuanya menunjukkan pentingnya perhitungan yang cermat.

Diterjemahkan dari bahasa Turki oleh Can Atalay

*Opini yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Anadolu Agency.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.